Di Antara Taat dan Cinta: Penjelasan Singkat
BAB 8
PENJELASAN SINGKAT
Keesokan harinya, Jumat pagi, pak Hasan berangkat ke kantor lebih pagi dari biasanya. Ia melewatkan sesi sarapan pagi bersama dengan anak dan istrinya. Satu kotak sandwich buatan bu Hasan dilahap pak Hasan di perjalanan menuju kantor. Tidak lupa ia memberikan satu kotak sandwich lainnya untuk pak Rino. “Titipan dari Ibu untuk sarapan pagi, pak Rino.” Ujar pak Hasan. “Bagaimana tadi malam? Berhasilkah pak Rino mengikuti mereka hingga berpisah?” Tambah pak Hasan.
“Iya, Pak. Saya ikuti hingga mbak Regina diantarkan pulang ke kosannya di daerah Setiabudi, Pak.”
“Banyak foto yang bisa pak Rino ambil?”
“Lumayan, Pak.”
“Tolong nanti dicetak rangkap dua kemudian berikan pada saya sebelum makan siang. Pagi ini saya tidak ada planning keluar, jadi pak Rino bisa pergi untuk mencetak foto.”
“Baik, Pak.”
“Uang masih ada?”
“Ada, Pak. Yang kemarin masih banyak sisanya, pak. Insya Allah lebih dari cukup kalau hanya untuk cetak foto saja.”
“Ya sudah, saya tunggu pagi ini ya, pak Rino. Jangan lupa sarapan pagi dulu. Dua hari ini pak Rino bekerja ekstra. Terima kasih banyak.”
“Sama-sama, Pak. Saya senang bisa membantu, Bapak.”
Mobil sudah berhenti di lobi kantor. Pak Hasan keluar.
Selang dua jam kemudian pak Rino menghadap pak Hasan di ruangannya dengan membawa foto-foto yang sudah dicetak rangkap dua beserta satu CD softcopy.
“Terima kasih banyak ya pak Rino. Saya minta tolong sama pak Rino jangan cerita kepada siapa-siapa tentang foto ini.”
“Baik, Pak.” Ujar pak Rino sembari menyodorkan uang sisa pemberian pak Hasan kemari malam.
“Sudah tidak usah dikembalikan, Buat pak Rino saja.”
“Tapi, Pak..”
“Sudah.”
“Terima kasih banyak, Pak.”
“Sama-sama.”
“Saya kembali ke bawah kalau begitu, Pak.”
“Ya. Terima kasih banyak.”
Kemudian pak Hasan meminta sekretarisnya untuk memanggil Regina, karyawati yang kemarin ia lihat, untuk datang ke ruangannya. Selang beberapa menit kemudian, sekretaris pak Hasan sudah mengantarkan Regina, karyawati yang dimaksud oleh pak Hasan.
“Silahkan duduk mbak Regina” Ujar pak Hasan.
“Saya kembali ke meja dulu, pak.” Ujar Sekretaris pak Hasan.
“Ya. “ Jawab pak Hasan.
Pintu ruangan ditutup.
“Apa kabar, Mbak Regina?”
“Baik, Pak.”
“Maaf, pagi-pagi saya sudah mengganggu waktu mbak Regina untuk bekerja.”
“Tidak apa-apa, Pak. Ada yang bisa saya bantu, Pak?”
“Begini. Apakah nanti setelah jam kantor mbak Regina sudah ada janji dengan orang lain?”
“Tidak, Pak.”
“Baiklah kalau begitu. Ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan kepada Mbak Regina. Tapi tidak usah khawatir, ini tidak ada hubungannya dengan urusan pekerjaan.”
“Ooo, begitu pak.”
“Bisa nanti setelah office hour?”
“Ya..ya..bisa, Pak.”
“Baiklah, sampai bertemu nanti sore.”
“Iya, Pak. Ada lagi yang ingin Bapak sampaikan?”
“Tidak.”
“Baiklah, kalau begitu saya kembali ke meja saya, Pak.”
“Ya, terima kasih banyak mbak Regina.”
Regina keluar dari ruangan pak Hasan. Hatinya mendadak menjadi tidak enak. Di dalam hati ia jadi bertanya-tanya ada perlu apa pak Hasan dengan dirinya.
Pak Hasan menghubungi bu Hasan di Rumah.
“Ma, nanti sebelum pukul lima Mama sudah ada di kantor Papa ya. Kita makan malam dengan perempuan yang Mama lihat di foto tadi malam.”
“Baik, Pa.”
Telpon ditutup.
XXX
Sebelum pukul lima bu Hasan sudah tiba di kantor suaminya.
“Maaf ya Pa, Mama kecepetan. Takut kena macet di jalan. Papa tahukan Jakarta kalo hari Jumat macetnya semakin luar biasa. ”
“Iya, enggak apa-apa, Ma. Setengah jam lagi juga sudah pukul lima.”
Bu Hasan duduk di meja tamu yang tersedia di ruang kerja suaminya. Sebuah pesan melalui whattsapp messenger masuk. Dari Dira.
Assalamualaikum, Ma. Dira nanti pulang agak telat dikit ya, Ma. Ada kumpul-kumpul sama temen kuliah dulu.
Waalaikumsalam. Ya. Nanti kabari Mama kalau sudah di jalan pulang.
Siap, Bu Bos.
Pukul lima seperempat pak Hasan, bu Hasan beserta Regina sudah di dalam mobil menuju sebuah restoran untuk makan malam. Pak Hasan duduk di depan menemani Pak Rino nyetir, sedangkan bu Hasan dan Regina duduk di belakang.
Tak lama mereka sudah tiba di restoran yang dituju. Sebuah restoran dengan ciri khas makanan manado. Bu Hasan memilih beberapa menu untuk makan malam. Regina masih bertanya-tanya di dalam hatinya apa maksud dan tujuan pak Hasan mengajaknya makan malam.
“Mbak Regina mau minum apa?”
“Oooo…oo..saya air putih saja, Bu.” Ujar Regina.
“Baiklah.”
Pak Hasan, bu Hasan mengajak Regina berbincang santai sambil menunggu pesanan makanan datang. Setelah semua pesanan terhidang di meja, mereka makan. Namun hati Regina masih saja tak tenang. Sejak tadi pagi Regina memikirkan semua ini. Makan malam bersama dengan big boss di kantornya tidak pernah dibayangkan sebelumnya oleh Regina. Dan ia hanyalah seorang staff yang belum genap setahun bekerja . Apa yang diinginkan pak Hasan dariku. Batin Regina.
Regina menghabiskan sendokan terakhir di piringnya. Begitu juga dengan pak Hasan dan bu Hasan. Mereka menyelesaikan makan malam hampir berbarengan.
“Sebelumnya, saya mohon maaf dengan mbak Regina atas undangan makan malam yang mendadak ini. Terima kasih atas waktunya.”
“Sama-sama, Pak. Saya yang justru berterima kasih. Bapak dan Ibu mau meluangkan waktu mengajak saya makan malam bersama.”
“Well, baiklah. Mungkin saya akan langsung ke pokok masalah yang ingin saya tanyakan. Saya hanya ingin bertanya beberapa hal saja. Saya minta tolong mbak Regina menjawab dengan jujur. Itu saja. Tapi tidak usah khawatir karena ini tidak ada sangkut pautnya dengan pekerjaan di kantor.”
“Iya, Pak. Saya mengerti. Insya allah saya akan menjawab dengan jujur semua pertanyaan Bapak.” Ujar Regina. Jantungnya semakin berdetak lebih kencang.
Pak Hasan menyodorkan sebuah foto. Foto seorang laki-laki. “Mbak Regina kenal dengan laki-laki ini?”
Regina terkejut. Matanya membesar. Ardi. Itu adalah foto Ardi.
“Mbak Regina kenal?” pak Hasan mengulangi pertanyaannya.
“Iii..ii..iya, Pak. Saya kenal.”
“Sudah lama kenal Ardi?”
“Ooo…ooo…sekitar enam bulan Pak. Seorang teman mengenalkan saya kepada Ardi.”
“Ooo begitu. Kalau boleh tau, hubungan mbak Regina dengan Ardi hanya sekedar teman atau….?” Pak Hasan tidak melanjutkan ucapannya.
“Kami berteman, Pak” Ujar Regina.
“Hanya berteman?” Pak Hasan menegaskan sekali lagi.
Regina menjadi salah tingkah mendengar pertanyaan pak Hasan.
“Gak apa-apa, Mbak Regina. Enggak usaha khawatir. Kami hanya ingin tahu sedikit saja. Jadi mohon dijawab seperti apa adanya.” Bu Hasan berusaha menenangkan Regina yang terlihat gelisah.
“Iii..iiya, Bu.” Regina terdiam. Agak lama. “Kami baru saja putus, Pak, Bu.” Regina menundukkan kepalanya. Ia berusaha sekuat tenaga menahan air mata supaya tidak menetes.
“Baru?” Tanya pak Hasan yang sangat penasaran dengan hubungan Regina dan Ardi.
“Iii..iiiya, Pak. Kami baru saja putus. Kemarin.” Jawab Regina pelan.
Bu Hasan tidak dapat menutupi keterkejutannya. Matanya bulat besar. Ia menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Sedangkan pak Hasan berusaha untuk tetap tenang. Jawaban ini sudah diduga oleh pak Hasan sebelumnya. Pasti ada hubungan khusus sebelumnya. Ia tidak terlalu terkejut.
“Sudah lama mbak Regina pacaran dengan Ardi?”
“Hm…belum terlalu lama, Pak. Sekitar empat bulanan. Tidak lama setelah kami berkenalan.”
“I see.”
“Ada yang bisa saya bantu, Pak?”
“Tidak..tidak. Hanya itu saja yang ingin saya tanyakan kepada mbak Regina. Terima kasih atas waktu mbak Regina dan juga jawaban-jawaban mbak atas pertanyaan saya. Dengan itu saja saya sudah sangat terbantu. Terima kasih banyak. Maaf saya nanya-nanya sedikit tentang pribadi mbak Regina.”
“Enggak apa-apa, Pak. Sama-sama.”
Bu Hasan memanggil salah seorang pelayan rumah makan. Meminta bill. Setelah menyelesaikan pembayaran, pak Hasan dan bu Hasan mengantarkan Regina ke kosannya yang tidak jauh dari tempat mereka makan.
“Semua sudah Papa duga, Ma. Pasti ada hubungan khusus antara mbak Regina dan Ardi.” Ujar Pak Hasan di mobil ketika Regina sudah turun dari mobil.
“Sekarang bagaimana kita menjelaskan kepada Dira, Pa?”
“Tidak ada yang perlu dijelaskan, Ma. Kita tunggu keputusan Dira. Tidak usah cerita semua ini kepada siapa pun. Cukup untuk hanya kita saja.”
“Ya, sudah kalau itu sudah jadi keputusan Papa. Mama ngikut aja.”
Sisa perjalanan menuju rumah, pak Hasan dan bu Hasan lebih banyak diam. Mereka sibuk dengan pikirannya masing-masing.
XXX
Di tempat lain, Nadira datang ke tempat teman-teman kuliahnya ngumpul, tapi ia duduk di kafe yang lain, tidak jauh dari kafe tempat temennya ngumpul. Ia menunggu acara bubar. Luthfi tak sekalipun menanggapi telpon ataupun WA dari Nadira. Menunggu acara usai kemudian berbicara dengan Luthfi secara langsung empat mata sepertinya menjadi satu-satunya jalan bagi Nadira untuk mengklarifikasi semuanya.
Ketika acara sudah bubar, Luthfi berpisah dari teman-temannya. Nadira mengejarnya dari belakang.
“Luthfi….” Ujarnya.
Luthfi menoleh ke arah datangnya suara. Ia terkejut melihat sosok Nadira di situ.
“Finally I meet you. Can we talk for several minutes?”
“Ada apa?”
“You know we need to talk. Follow me.” Dira berjalan ke arah salah satu kafe.
“What do you want to drink?”
Luthfi diam.
“Ice Cafe latte dua, Mbak.” Ujar Nadira kepada pelayan kafe. Nadira akhirnya memesan minuman tanpa menunggu jawaban dari Luthfi yang masih saja diam.
“Baik. Mohon menunggu sebentar.” Ujar pelayan kafe kemudian berlalu dari hadapan Nadira dan Luthfi.
“Ada apa, Nad?”
“Ada apa? You know it, Luthfi. Come on, make it easier for me.”
“Saya rasa tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Semua sudah jelas. Semua sudah saya sampaikan kepada Papamu, Nad.”
“You should have told me.”
“I don’t think so.”
“Jadi benar semua yang dikatakan Papa, kamu ke rumah bertemu Papa minta izin mau melamar saya sebagai istrimu?”
“Ya.”
“You know me.”
“Because I know you. Saya tidak akan tempuh jalan yang sudah dilalui oleh teman-teman di kampus. It doesn’t work, does it?”
“You…”
“Sudah saya katakan tidak ada yang perlu kita bicarakan berdua seperti ini. I hope I’m going to have a good news from your father soon.” Luthfi menghabiskan ice lattenya. Kemudian ia memanggil pelayan kafe. “Minta billnya ya, Mbak.”
“What are you doing? We are haven’t finished yet.”
Mbak pelayan kafe segera berlalu, berjalan menuju meja kasir.
“Sudah, Nad. There’s nothing more to say. I’m waiting for your decision. Saya harap pikirkan dengan baik-baik keinginan saya untuk menikah dengan kamu.”
“Menikah tanpa pacaran seperti…..”
“Ya, saya rasa kita sudah sama-sama tahu. Empat tahun kuliah di tempat yang sama.”
“Do you think that’s enough?”
“Enough for me.”
“But not for me.”
Mbak pelayan kafe sudah kembali dengan bill di tangannya. Ia menyerahkannya kepada Luthfi.
“Let me pay.” Ujar Nadira.
Luthfi mengeluarkan uang dari dompetnya kemudian menyerahkan kepada mbak pelayan kafe.
“You don’t have to. Let’s finish it. You drive your own car or …?”
“I drive…”
“Okay. Saya antar kamu sampe parkiran mobil.”
Luthfi menghabiskan lattenya. Begitu juga dengan Nadira. Kemudian Luthfi berdiri. Ia mempersilahkan Nadira untuk jalan terlebih dahulu. “You made me crazy more than Ardi did. Kenyataan hidup seperti apa ini.” Batin Nadira.
XXX
NOTE:
Get news update about this novel by follow our instagram account @novelbyviedyana. Thank you.
Wah, menarik sekali mbak…jadi pengen baca-baca cerita sebelumnya juga nih…
Silahkan liat di menu category, fiction, di antara taat dan cinta…makasih ya mbak udah ikutan baca. Kalau ada kritik dan saran silahkan lho mbak….doakan saya tidak berhenti di tengah jalan seperti yang sudah-sudah. Pengen banget selesein sampai akhir dan dibaca banyak orang..
Menarik Mbak.
Nadira mending sama Luthfi saja, ya hehehe.
Tulisannya bagus. Bagusnya dikirim ke majalah, Mbak. Sudah dicoba?
BTW, komen saya tadi masuk nggak, ya?
Tidak ada notifikasi usai komen tadi.
masuk kok. setiap komen saya moderisasi dulu mbak. suka ada aja yang kirim-kirim spam dan link-link gak jelas gitu. huhu.
salam kenal. makasih ya udah mampir dan baca. Doakan saya menyelesaikan novel satu ini.
Belum, mbak. Saya posting di blog ini aja. Nyicil per bab supaya gak hilang begitu aja, seperti yang sudah-sudah. Mudah-mudahan banyak yang baca, ada kritik dan saran juga dr pembaca. Mudah-mudahan ada penerbit yang baca juga gt. #ngarep wkwkwk..Jujur, saya masih belajar mbak. Novelis amatiran inih ceritanya Heheheh