Di Antara Taat dan Cinta: Menuntaskan Satu Rasa
BAB 9
MENUNTASKAN SATU RASA
Seminggu berlalu.
Terdiam. Nadira menatap layar monitor di meja kerjanya. Pikirannya kacau. Melayang kemana-mana. Sudah seminggu ini ia tidak bisa fokus bekerja. Dan kini mencapai klimaknya, ia baru saja dimarahi oleh atasannya karena kurang teliti membuat laporan. Fuih! Sampai kapan akan begini. Astagfirullah. Nadira hanya mampu berkata-kata di dalam hatinya. Bibirnya tak mampu untuk mengucap.
“Hei, siang-siang bengong aja. Enggak makan siang, Nad?”
Nadira terkejut dengan sapaan Reiko, salah satu teman makan siangnya di kantor.
“Oh ya, Mbak.”
“Yang lain udah turun duluan. Kayaknya tinggal kita berdua aja yang belum turun. Mau makan bareng?”
“Oh iya-iya, Mbak.”
Nadira bergegas mengambil dompet di dalam tasnya yang terletak di dalam laci di bawah meja kerja Nadira.
***
Nadira dan Reiko memutuskan untuk makan siang di kantin gedung tempat mereka bekerja. Semangkok sop iga dengan sambel yang pedas tidak membuat mood Nadira berubah. Ia tetap saja tertunduk lesu, menyuap sesendok demi sesendok nasi ke mulutnya. Nadira tidak banyak bicara. Ia tidak seperti Nadira yang biasanya.
“Baik-baik saja, Nad?”
“Ya.” Nadira berhenti menyendokkan nasi ke dalam mulutnya. “Enggak, Mbak.” Nadira meralat jawaban pertanyaan Reiko.
“I can see it. Not only today, also the other day of yesterday.”
“Hm.. you know me so well. Gue pusing, Mbak. Kata orang dilamar itu menyenangkan. Bahagia. Tapi…”
“Tapi…?”
“Tapi bukan itu yang gue rasa, Mbak. Mereka bikin kepala gue pusing aja.”
“Mereka?” Reiko terkejut mendengar kata mereka yang terlontar dari mulut Nadira.
“Iya, Mbak, mereka. Bukan cuma satu tapi dua. Kagetkan?”
Reiko meneguk air putih yang ada di depannya untuk menenangkan diri. Ia terkejut mendengar jawaban Nadira.
“Lo inget Ardi, Mbak? Temen kuliah gue yang suka tiba-tiba muncul di lobi kantor?”
Reiko tersenyum. “Aaaah dia.”
“Dia nekat bicara empat mata dengan papa untuk memperistri gue. Dasar gila.”
“Ya udah sih sama dia aja. Kayaknya dia cinta banget sama elo, Nad.”
Nadira menggelengkan kepalanya. “Entahlah, but I don’t like him. Cara dia untuk dapetin gue dari sejak kuliah malah bikin gue illfeel, Mbak. Kalo gue mau sama dia, udah dari zaman kuliah gue iyain, Mbak.”
“I see. Kalau gitu sama yang satu lagi aja. Tadi katanya ada dua.”
“Ah ini lagi. Namanya Luthfi, temen kuliah gue dan Ardi juga. Entah tahu dari mana alamat rumah gue, tiba-tiba dia udah ngomong sama papa untuk memperistri gue. Menurut gue Sama gilanya dengan Ardi.”
“Dia salah satu fans lo juga waktu kuliah?”
“Setahu gue enggak, Mbak. Anaknya alim banget. Salam sama cewek aja gak mau. Dia salah satu idola temen-temen kampus gue termasuk yang pake kerudung. Mereka memang tidak terang-terangan mengatakan suka dengan Luthfi. Kalau lagi ngobrol-ngobrol gitu Luthfi ini semacam sosok yang diidam-idamkan menjadi seorang suami di masa depan kelak. Bagi mereka. Bukan bagi gue ya. Kata temen-temen di kampus dia pinter ngaji. Tapi gue enggak tahu juga bener atau enggak.”
“Sounds good. Ya udah sama dia aja. Susah bener.”
“Lo gila juga, Mbak. Lo pikir nikah kayak beli kacang di pasar?”
Reiko tertawa. “Elo lucu, Nad. Kayak Ardi yang ngejer elo terang-terangan, gak mau. Ada yang diem-diem suka, lo enggak mau juga. Padahal tujuan mereka sama. Satu. Nikahin elo.”
Nadira berhenti menyendokkan nasi ke mulutnya. Bener juga yang dikatakan Reiko. Seperti apakah pria yang ia cari. Nadira jadi bertanya kepada dirinya sendiri.
“Hoooi kok jadi bengong lagi?”
“Entahlah, Mbak. Gue bingung bagaimana harus menjabarkan dalam kata-kata. Situasi seperti ini enggak pernah sama sekali terlintas dalam otak gue.”
“Sekarang gini. Di antara dua, hati elo lebih berat ke mana?”
“Gue pengen berkata tidak untuk keduanya, Mbak. Tapi papa dan mama enggak mengizinkan gue untuk mengambil pilihan itu. Gue harus memilih salah satu.”
“Orang tua lo sendiri lebih cenderung yang mana?”
“Entahlah. Tapi yang pasti papa kurang suka dengan cara berpikir Ardi.”
“Well then, you have no choice. You only have one choice. Siapa tadi namanya?”
“Luthfi.”
“Ah ya, Luthfi.”
“Sejak papa kasih tau gue kalau Luthfi datang melamar, gue langsung telpon, sms bahkan kirim pesan lewat WA. Dan elo tahu, enggak satu pun yang direspon oleh Luhtfi. Sms dan pesan WA gue cuma di-read, sedangkan telpon berakhir dengan sambungan tidak terjawab.”
‘Terus?”
”Akhirnya ketika reunian sama temen-temen kuliah Jumat kemarin gue niatin banget tungguin dia selesei ketemuan sama temen-temen yang lain supaya gue bisa ngobrol berdua. I need his explanation.”
“Dia bilang apa?”
“Dia bilang enggak ada yang perlu dibicarakan berdua seperti itu. Semuanya sudah ia sampaikan kepada papa. Jadi tolong pikirkan semua baik-baik. Terus gue disuruh pulang. Geblekkan?”
“Menarik.” Reiko tersenyum.
“Apanya yang menarik, Mbak?”
“Kalau sama Ardi lo jelas-jelas enggak suka, kalau sama Luthfi gimana?”
“Biasa aja.”
“Biasa aja atau belum ada rasa?”
“Maksud lo, Mbak?”
“Gini, lo belum ada rasa mungkin karena belum terlalu kenal dia, Nad. Waktu ketemu kenapa enggak coba ajak pacaran dulu aja. Supaya lebih kenal gitu.”
“Tawaran dia menikah, bukan pacaran. Ya atau tidak sama sekali. Ingin gue jawab enggak, tapi orang tua gue enggak kasih pilihan itu. Gue harus pilih Ardi atau Luthfi. Dan papa sepertinya lebih welcome dengan Luthfi.” Nadira menghirup nafas panjang kemudian menghembuskannya perlahan.
Nadira menyendok nasi terakhir ke mulutnya. Akhirnya semangkok sop iga itu habis juga. “If you were me, what would you do, Mbak?”
Reiko terdiam mendengar pertanyaan Nadira. Ia berpikir sejenak.
“Hm..ini sebuah keputusan yang berat, Nad. Tentunya tidak akan mudah untuk dijalani. Namun sepertinya orang tua lo lebih cenderung menjatuhkan pilihan kepada Luthfi. If I were you, I will choose him.”
Nadira terkejut mendengar saran Reiko.
“Menikah tanpa cinta maksud lo, Mbak?”
“Bukan. Bukan seperti itu, Nad. Begini, menikah ini akan menjadi sebuah komitmen panjang. Yang tentunya harapan semua orang akan bersama hingga puluhan tahun lamanya. Karena harapan waktu yang panjang ini, pastinya inginnya bahagia. Bahagia hingga bertemu lagi di surga nanti. Bukan begitu?”
Nadira mengangguk.
“Salah satu pintu untuk mencapai kebahagian ketika sudah berumah tangga adalah memulainya dengan baik. Menurut gue, Nad, Luthfi ini memulainya dengan baik. Lo bilang waktu kuliah dia bukan fans elo, tapi sekarang dia datengin orang tua lo langsung tanpa basa basi tanpa permisi sama elo, bukan lagi untuk pacaran, akan tetapi langsung kepada gerbang pernikahan. Allah Sang Maha Pembolak Balik hati, namun feeling gue, dia sudah ada rasa sama elo sejak masa kuliah. Namun ia bersabar hingga ia merasa mampu dan cukup capable untuk jadi suami lo.”
“Gitu ya. Mungkin juga sih, Mbak, asumsi elo. Tapi, semua ini tidak sesederhana itu.”
“Iya betul, Nad. Listen! Langkah baik kedua, yaitu orang tua lo. Tadi lo bilang orang tua lo cenderung pilih dia dibanding Ardi. Itu artinya restu orang tua lo untuk dia. Restu ini bukan masalah sederhana lho, Nad. Restu itu masalah krusial. Udah banyak kejadian yang gagal menikah karena restu. Salah satunya adalah gue.”
Nadira yang sedang menyeruput es teh manisnya hampir tersedak mendengar kalimat terakhir Reiko.
“Apa lo bilang, Mbak? Elo–,”
“Iya, gue, Nad. I’ve been there. Mempertahankan cinta yang kedua orang tua gue gak setuju sama sekali. Bahkan kedua kakak laki-laki gue pun enggak suka dengan mantan gue itu. Namun gue kekeuh saat itu. Gue abaikan nasihat orang di sekeliling gue. Lamaran tetap digelar. Kabar gue akan menikah pun sudah tersebar di kalangan keluarga. Tapi, sebulan sebelum hari H, gue putus, Nad. Undangan sudah jadi namun belum disebar. Gue batalin semua vendor dengan resiko down payment tidak kembali. Dia memilih wanita lain. Pilihan ibunya.”
“Apa?” Nadira tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya.
“Kalau memang ibunya enggak setuju kenapa tidak bilang dari awal?”
“Entahlah. Hingga kini, itu pun masih menjadi tanda tanya bagi gue. It’s been a year.”
“Then..”
“Seperti lo lihat sekarang, life must go on. Tidak ada yang harus disesali. Mungkin ini jalan yang ditunjukkan Allah Ta’ala buat gue yang enggak nurut apa kata orang tua. Gue berbaik sangka aja dengan takdir Allah Ta’ala seperti ini. Tidak ada yang harus disesali, tapi ini semua jadi pelajaran berharga buat gue, Nad.”
Nadira terdiam mendengar deratan kata nasehat Reiko. Kalimat itu melesat cepat menusuk jantung hatinya.
“Mbak, maaf ya. Gue jadi membuka luka lama lo.”
Reiko tersenyum.
“Lo enggak perlu minta maaf, Nadira. It’s okay. I’m fine. Jadi lo inget baik-baik nasihat gue ya, Nad. Yuk balik ke kantor.”
Nadira takjub melihat ekspresi wajah Reiko. Tidak ada kesedihan di sana. Kemudian mereka meninggalkan kantin gedung dan kembali ke meja masing-masing.
“Thanks ya, Mbak.” Ujar Nadira sebelum berpisah dengan Reiko.
“Sama-sama, Nad.”
**
Merahnya langit sore sudah mulai menghilang dari pandangan mata. Berganti dengan pekatnya malam yang bertabur bintang dan tentunya juga ada bulan di sana. Deratan mobil yang mengular di jalan raya sudah mulai terurai. Jalanan sudah ramai lancar. Berkali-kali Nadira memperhatikan kaca spion mobil dan sepertinya ia tidak salah duga. Mobil yang sedari tadi mengikuti tepat dibelakangnya adalah mobil Ardi. Ia cukup familiar dengan mobil tersebut. Nadira menginjak pedal gas sedikit lebih dalam. Namun itu tidak menghentikan aksi mobil tersebut. Mobil tersebut tetap mengikuti laju kendaraan Nadira. Fuih! Nadira semakin jengah dengan semua tingkah laku Ardi. Sedari pagi Ardi mengirim pesan lewat WA. Banyak sekali. Bukankah dengan tidak menanggapi semua permintaan sudah bisa diartikan sebagai sebuah penolakan? Kenapa dia enggak ngerti-ngerti juga. Seperti inikah yang dinamakan cinta yang membuat buta? Tidak bisa lagi membedakan mana penerimaan, mana penolakan. Tidak bisa berpikir rasional. Huh I hate being loved. Nadira mengoceh di dalam hati.
Nadira akhirnya melepaskan sedikit demi sedikit kakinya dari pedal gas, dan berpindah ke pedal rem. Akhirnya tiba juga di rumah. Benar dugaan Nadira, mobil yang mengikutinya sedari tadi sejak keluar dari gedung kantor adalah mobil Ardi. Nadira bergegas keluar dari dalam mobil. Ardi yang juga sudah selesai memarkirkan mobilnya bergegas keluar mengejar Nadira.
“Nad.” Ardi tiba-tiba meraih lengan Nadira. “We need to talk.” Tambahnya lagi.
“Cukup! Tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan. Jawabanku tidak. Masih kurang jelaskah?”
“Nad…”
Sebuah mobil parkir di garasi rumah Nadira. Pak Hasan keluar dari mobil.
“Jawabanku tidak.” Ujar Nadira sekali lagi dengan suara yang lebih kencang.
Pak Hasan melihat Nadira dan Ardi seperti beradu pendapat. Berdebat. Ia merasa mereka sedang bertengkar. Pak Hasan tidak langsung menuju teras rumah seperti biasanya. Ia memutuskan untuk mendekati Nadira dan Ardi.
“Kenapa berbicara di luar seperti ini?” Tanya pak Hasan.
“Sekali lagi aku tegaskan. Jawabanku tidak. Lepaskan.” Nadira melepaskan cengkraman tangan Ardi dari lengannya. Kemudian ia berlari kecil masuk ke dalam rumah.
“Dira..” Ujar Pak Hasan.
Nadira tidak merespon panggilan papanya. Ia tetap masuk ke dalam rumah.
“Kita bicara di dalam rumah, Nak Ardi. Mari.” Ujar pak Hasan.
“Iii..ii..iya, Om.” Jawab Ardi sedikit gugup. Ia mengikuti pak Hasan masuk ke dalam rumah kemudian duduk di ruang tamu.
***
Hening. Pak Hasan dan Ardi duduk di ruang tamu berdua. Cukup lama mereka terdiam sibuk dengan pikirannya masing-masing. Bu Hasan datang membawakan dua cangkir teh hangat.
“Terima kasih, Tante. Maaf jadi merepotkan.”
Bu Hasan tersenyum. “Hanya secangkir teh hangat saja. Tidak merepotkan sama sekali. Silahkan diminum ya. Tante kebelakang dulu.”
“Silahkan, Tante. Terima kasih banyak.”
Kini pak Hasan dan Ardi hanya berdua lagi di ruang tamu.
“Bagaimana kabarnya, Nak Ardi?”
“Baik, Om.”
“Begini, semoga Om tidak salah dengar. Tadi Dira mengatakan tidak, apa yang sedang kalian bicarakan?”
“Hm..Sejujurnya saya menyukai Nadira sejak awal-awal kuliah, Om. Hanya saja tanggapan Nadira selama ini menjadi sedikit tanda tanya bagi saya antara iya atau tidak melanjutkan hubungan ini ke tahap yang lebih serius. Namun saya tidak bisa begini terus, menunggu tanpa kepastian yang jelas. Oleh karena itu minggu kemarin saya memberanikan diri untuk berbicara langsung kepada Om tentang hubungan saya dengan Nadira.”
Pak Hasan manggut-manggut.
“Tadi pagi saya kirim pesan kepada Nadira. Saya minta untuk bertemu, bicara berdua, duduk santai dengan pikiran yang lebih tenang. Saya ingin membicarakan tentang kelanjutan hubungan kami. Namun tidak satu pun yang dijawab.”
“Lalu..”
“Lalu seperti yang Om dengar tadi, Nadira berkata tidak. Ia menolak. Hanya saja ia menolak dengan emosi. Inilah yang kurang bisa saya terima. Saya mohon maaf hal seperti tadi harus terjadi, Om.”
“Om mengerti posisi Nak Ardi yang serba salah. Ini juga yang Om tunggu seminggu ini. Seperti Nak Ardi tahu bahwa Dira anaknya sedikit keras. Jika sudah berkata tidak ya tidak.”
“Iya Om, saya mengerti.”
“Ayo tehnya diminum dulu. Seharusnya sudah mulai dingin.”
“Oh iya-iya Om.”
Pak Hasan dan Ardi menyeruput pelan secangkir teh yang disuguhkan oleh bu Hasan tadi.
“Sebelumnya Om minta maaf kepada Nak Ardi atas sikap Dira. Seharusnya Dira bersikap lebih baik walaupun ia menolak. Maafkan jika Dira masih sedikit kekanak-kanakan.”
“Iya, Om saya mengerti.”
“Begini, supaya ke depannya lebih baik, untuk Nak Ardi, dan juga untuk Dira, Om sebagai orang tua Dira mohon maaf kepada Nak Ardi kalau Dira belum bisa menerima pinangan Nak Ardi. Semoga ini bisa menjawab kegelisahan hati Nak Ardi selama ini.”
Ardi terdiam, setengah tidak percaya dengan kata-kata yang baru saja meluncur dari mulutpak Hasan. Perjuangan dan penantiannya selama ini berakhir di sini. Di ruang tamu rumah Nadira. Ia menunduk. Cukup lama. Ardi berusaha keras untuk menenangkan gelombang di hatinya. Setelah sedikit tenang, Ardi kembali mengangkat kepalanya. Menatap wajah pak Hasan.
“Saya mengerti, Om. Terima kasih Om sudah berkenan untuk menjawab pertanyaan di hati saya selama ini. Saya mohon maaf jika ada kata-kata ataupun tindakan saya yang kurang berkenan kepada Om, Tante dan juga Nadira tentunya.”
“Sama-sama, Nak Ardi. Semoga ini yang terbaik bagi kita semua. Insya Allah, ada wanita lain yang lebih baik dari Nadira untuk Nak Ardi.”
Ardi mengangguk. “Kalau begitu, saya mohon pamit, Om. Sudah malam. Om pastinya ingin beristirahat setelah seharian bekerja di kantor. Maaf sudah mengganggu waktu beristirahat, Om.”
“Tidak. Tidak apa-apa, Nak Ardi.”
“Salam untuk Tante. Saya mohon pamit. Assalamualaikum,” Ujar Ardi.
“Waalaikumsalam.”
Pak Hasan mengantarkan Ardi hingga ke teras rumah dan menunggu hingga mobil Ardi hilang dari pandangan mata.
**
Tok…tok..tok.
Tiga ketukan di pintu kamar. Nadira berjalan pelan membuka pintu kamarnya. Mama.
“Masuk, Ma.” Ujar Nadira.
Nadira dan mamanya duduk bersisian di tepi tempat tidur.
“Kamu baik-baik saja, Dira?” ujar bu Hasan kemudian menggenggam kepalan tangan Nadira.
“Entahlah, Ma. Sungguh situasi ini enggak pernah terbayang sama sekali akan terjadi, Ma.”
“Ini menyangkut masa depan kamu, Dira. Dipikirkan matang-matang. Jangan lupa sholat tahajud, sholat istikharah.”
“Iya, Ma. Sudah. Ma, Tapi kegalauan di hati ini semakin menjadi-jadi, Ma. Bagaimana ini?”
Nadira menatap mamanya dengan tatapan kosong. Lama mereka terdiam. Hanya saling menatap. Perlahan air mata mengalir di pipi. Nadira jatuh kepelukan mamanya.
Sekarang Dira harus bagaimana, Ma? Bolehkah Dira berkata tidak untuk keduanya?” ujar Dira terisak-isak.
“Apa maksud kamu, Dira?” Kini giliran pak Hasan yang bersuara dari pintu kamar Nadira. “Papa tidak salah dengar keinginanmu?”
Nadira terkejut dan langsung melepaskan diri dari pelukan mamanya. Tidak hanya Nadira yang terkejut, mamanya pun sama terkejutnya.
“Dira…Dira.. enggak yakin bisa dengan keduanya, Pa.” Nadira menunduk. Ia tidak berani menatap wajah papanya.
Pak Hasan berjalan mendekati anak dan istrinya, Kemudian duduk bersisian di sebelah Nadira.
“Dira, boleh Papa mengatakan sesuatu?”
“Tentu, Pa. Tentu saja.”
“Kamu yakin ingin menolak lamaran Luhtfi? Tidakkah kamu akan menyesal di kemudian hari telah menolak lamaran dari laki-laki yang baik agama dan akhlaknya? Begini, Papa tidak memaksa kamu harus menikah dengannya. Namun coba pikirkan lagi untuk ke depannya. Untuk masa depan kamu sendiri, Dira. Karena jika nanti kamu menikah, maka seluruh tanggung jawab yang Papa emban sekarang akan beralih ke pundaknya. Walau usianya tidak terpaut jauh denganmu, Dira, namun ia sudah berani mengambil sebuah keputusan dengan perhitungan yang matang. Ia mempelajari tuntunan agama kita, dan ia berusaha mengamalkannya.”
“Bagaimana Papa bisa menyimpulkan seperti itu?”
“Dalam agama kita tidak ada istilahnya pacaran-pacaran itu. Ia menyukai kamu dan ingin kamu menjadi istrinya, lihat apa yang ia lakukan, ia mendatangi Papa untuk memintamu menjadi istrinya. Adakah ia mendatangi kamu?”
Nadira hanya diam saja. Tidak ada satu kata pun terucap dari mulutnya untuk menjawab pertanyaan papanya.
“Kedua, sebelum ia datang menemui Papa, ia sudah membicarkan hal ini dengan ibunya dan juga Pakdenya. Bapak Luthfi sudah meninggal oleh karena itu dia juga membicarkan niatnya ini dengan pakdenya. Mereka merestui. Melihat cara dia memperlakukan ibu dan keluarganyanya, Papa yakin ia juga akan memperlakukan kamu dan juga keluarga kita dengan dengan baik, Dira. Ia mengerti cara menunjukkan rasa hormatnya kepada orang yang lebih tua dari padanya. Tidakkah caranya sangat santun? Adakah hal lain selain rasa tidak yakin yang menjadi alasan kamu ingin menolaknya?
Nadira masih terdiam. Menunduk. Ia tidak tahu harus menjawab apa.
“Papa tidak akan memaksa kamu harus menjawabnya, Dira. Tapi pikirkan lagi semua. Oh ya, tadi di bawah Papa mendengar kamu berkata tidak. Ardi menjelaskan duduk perkaranya dan Papa sudah berbicara dengan Ardi. Papa sudah menolak lamarannya. Sekarang ia sudah pulang. Bagaimana menurut kamu?”
“Terima kasih, Pa,” ujar Nadira masih dengan kepala tertunduk. Di dalam hatinya Nadira merasa lega sekali. Satu beban terasa lepas dari pundaknya.
“Sekarang tinggal pinangan Luthfi. Papa harap kamu pikirkan lagi keinginanmu tadi, Dira.”
“Iya, Pa,” ujar Nadira pelan.
Nadira menundukkan kepalanya. Perlahan tetes demi tetes air mata mengalir di pipi Nadira. Bu Hasan merangkul Nadira ke pelukannya kemudian membelai rambut Nadira perlahan. Seketika tangis Nadira semakin pecah.
Bu Hasan tidak tahu harus berkata apa. Ia terus memeluk dan membelai rambut Nadira.
“Sabar ya, Nak.” Ujar pak Hasan. “Mama di sini saja dulu menemani Nadira. Papa mau mandi dulu.”
Pak Hasan pamit kepada anak dan istrinya untuk turun ke lantai satu.
“Iya, Pa,” ujar Bu Hasan.
**
Malam kian larut. Nadira sudah agak tenang sedikit dan akhirnya tertidur. Pak Hasan dan bu Hasan sudah masuk ke kamar mereka. Pak Hasan langsung merebahkan badannya di kasur. Ia mencoba untuk memejamkan matanya. Namun tidak bisa. Ia menjadi gelisah sendiri.
“Papa baik-baik saja, Pa?”
“Entahlah, Ma. Badan papa rasanya tidak enak.”
“Papa sudah jadi cek lab yang disarankan dokter tempo hari?”
“Sudah, Ma. Insya allah besok hasilnya keluar. Nanti pulang kerja sekalian Papa ambil.”
“Ooo begitu. Semoga hasilnya baik ya, Pa.”
“Aamiin,” ujar pak Hasan. “Papa juga kepikiran Nadira. Bagaimana ini sebaiknya, Ma? Mungkin belum rezeki kita memiliki menantu seperti Luthfi ya, Ma. Papa tidak sampai hati jika harus memaksa Dira untuk menerima lamaran Luthfi. Karena bagaimana pun Diralah yang akan menjalani semuanya.” Kini pak Hasan duduk di tempat tidurnya dengan bersandar ke kepala tempat tidur.
“Sabar ya, Pa.”
“Atau sebaiknya Papa besok bertemu Luthfi membicarakan semua ini?”
“Papa mau membicarakan apa? Menolaknya?”
“Ah entahlah, Ma. Papa juga bingung. Semoga besok Papa bisa menemukan kata-kata yang tepat untuk berbicara dengan Luthfi.”
“Sudah malam, Pa. Ayo tidur. Papa juga butuh istirahat.”
“Iya, Ma.”
**
Note:
Baca dari awal : Di Antara Taat dan Cinta
IG: @novelbyviedyana