[Api & Air] HECTIC DAY
1
HECTIC DAY
Liyana berlari menaiki anak tangga. Ia berpacu dengan waktu. Ketika kakinya sudah menjejaki anak tangga paling atas, Liyana langsung menuju kereta. Aha ada pak petugas di dekat pintu masuk, Liyana memperlihatkan tiketnya, kemudian pak petugas dengan baik hati menunjukkan gerbong kereta Liyana. Liyana bergegas masuk. Dan tak lama kemudian kereta pun bergerak perlahan meninggalkan peron. Liyana mengelus dada. Untuk kesekian kali ia selamat dari tragedi ketinggalan kereta. Lagi-lagi judulnya hampir ketinggalan.
Liyana celingak celinguk mencari nomor kursinya. Kereta melaju semakin kencang, meninggalkan stasiun Gambir menuju stasiun Tugu di Yogyakarta. Sebuah senyuman mengambang ketika akhirnya Liyana menemukan nomor kursi yang sesuai dengan nomor di tiketnya.
“Permisi,” ujar Liyana.
Seorang pemuda yang akan menjadi teman sebangku Liyana hingga esok shubuh berdiri, kemudian mempersilahkan Liyana untuk duduk di kursi deket jendela.
“Terima kasih.” Ujar Liyana.
“Sama-sama. Tas backpacknya gak tarok di kabin atas aja, Mbak?”
“Oiya-ya.” Liyana bangkit dari duduknya.
“Sini Mbak, saya tolong tarokin.”
Liyana nyengir. “Makasih ya, Mas. Maaf jadi merepotkan.”
“Sama-sama. Enggak repot kok. Sekalian berdiri.” Ujarnya lagi. Setelah itu ia kembali duduk.
Liyana membuka kotak bento, makanan cepat saji yang tadi ia beli di bawah sebelum menaiki anak tangga menuju peron kereta. Rasa laparnya semakin menjadi-jadi. Dari tadi siang perut Liyana sudah teriak minta diisi, tapi deadline laporan memaksa Liyana menunda jam makan siangnya. Lagi-lagi untuk kesekian kali, makan siang dirapel pada saat jam makan malam.
“Makan, Mas,” Liyana basa-basi menawarkan makanan yang cuma satu kotak.
“Makasih, Mbak. Silahkan.”
Iphone kesayangan berbunyi. Nama Nina yang tertulis di layar hape. Liyana menyentuh tanda telepon diterima di layar hape.
“Halo.”
“Elo ada di dalam kereta, kan?” Tanpa basa basi Nina menodong Liyana dengan pertanyaan.
“Iya, ini lagi makan. Gue langsung makan. Laper. Jadi belum sempet kasih tau. Entar ketemu di stasiun Tugu ajalah ya sebelum keluar stasiun.”
“Oke. Elo bikin kita-kita khawatir aja.”
“Well do not worry too much. Lanjut makan dulu yak. Laper euy.”
“Oke.”
Klik. Telpon diputus dari seberang sana. Liyana melanjutkan makan malamnya.
XXX
Lega. Akhirnya urusan makan selesai juga. Kriuk-kriuk di perut Liyana sedikit berkurang, Emosi jiwanya sedikit mereda. Sekali lagi Iphone berdering. Liyana merogoh hapenya yang ada di dalam tas kecil. Seketika Liyana menepok jidatnya ketika melihat nama yang menelpon, Mamie Sayang. “Duh lupa kasih tau nyokap besok gak bisa anterin reunian temen-temen SMA beliau.”
“Assalamualaikum, Mam.”
“Waalaikumsalam. Kamu di mana, Nduk? Kok berisik sekali.”
“Ini Mam, di kereta.”
“Oooo…ini Mamie mau kasih tau kalo besok Mamie gak jadi minta anterin ke reunian. Mamie bareng sama temen Mamie aja.”
“Ooo gitu, Mam.” Seketika Liyana merasa lega. Rasa bersalah sedikit berkurang. “Nah kebetulan Mam, maaf Ana lupa kabarin Mamie kalo besok Ana juga gak bisa anterin Mamie. Insya Allah minggu depan ya Ana ke Bandung.”
“Lho kok gitu? Tadi katanya lagi di kereta?”
“Iya, Mam. Ana di kereta. Tapi bukan kereta ke Bandung. Ana di kereta ke Yogya.”
“Mamie kira kamu ke Bandung. Jalan-jalan lagi, Na?”
Hm…Mamie ini memang super sekali dalam menebak gerak-gerik anaknya. Batin Liyana. “Iya, Mam. Maaf ya Mamie. Ana beneran lupa kasih tau Mamie tentang besok.”
“ Ya sudah, hati-hati di jalan ya. Jangan lupa kabari Mamie kalau sudah sampai Yogya.”
“Insya Allah Mamie sayang. Mamie mau dibawain apa dari Yogya?”
“Sudah enggak usah bawain oleh-oleh segala. Sing penting kamu kembali dengan selamat ndak kurang apapun, Nduk. Hati-hati di jalan. Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Klik. Telpon terputus. Liyana menghela nafas panjang. Satu urusan selesai.
Urusan berikutnya adalah sepatu high heels dan juga blazer yang biasa digunakannya ketika di kantor. Huft! Liyana bete sendiri melihat penampilannya dalam kereta. Oh my goodness, seharusnya tidak seperti ini tampilan mau liburan, celana bahan lengkap dengan kemeja dan juga blazer cantik keluaran executive. Ditambah dengan stiletto keluaran Charles and Keith yang dbeli Liyana di Singapura dua bulan silam. What a perfect holiday it should be. Liyana melepaskan blazernya dan kemudian menggulung lengan kemejanya. AC kereta api tidak sedingin AC sentral di kantornya. Liyana memejamkan matanya.
Hari ini menjadi busy day sekali untuk Liyana. Entah kenapa tiba-tiba tadi pagi pak Bos minta laporan yang harus di-submit hari itu juga. Request pagi, harus submit di sore hari sebelum meninggalkan kantor.
Liyana menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Laporan sukses merebut semua fokusnya hari ini. There is a price you have to pay next week, pak Bos! Batin Liyana.
XXX
Liyana sibuk dengan hapenya. Ia tidak memperhatikan pak kondektur kereta yang bertugas memeriksa tiket penumpang. Tidak membutuhkan waktu lama, tiket pemuda yang duduk di sebelah Liyana sudah selesai diperiksa pak kondektur.
“Malam, Mbak. Maaf mengganggu. Bisa diperlihatkan tiketnya sebentar.”
Liyana menoleh ke arah datangnya suara. “Oiya, Pak. Maaf, sebentar.” Liyana merogoh isi di dalam tas selempangnya. Pak kondektur memeriksa penumpang yang lain ketika melihat Liyana masih mencari-cari tiketnya. Beberapa kali tangan Liyana mencoba mengaduk-aduk tas yang ukurannya kecil saja, namun iya tidak menemukan tiket di sana. “Duh mati gue, tadi gue tarok di mana ya? Perasaan tadi udah dimasukkin dalam tas.” Batin Liyana. “Ya ampun ada apa dengan gue hari ini ya. Kenapa jadi pikun gini seh. Astagfirullah” lanjutnya lagi ngedumel di dalam hati.
Tiba-tiba pemuda yang duduk di sebelah Liyana membungkukkan badannya, kemudian mengambil secarik kertas yang tergeletak di bawah, enggak jauh dari kaki Liyana. “Mungkin ini mbak tiketnya,” ujar pemuda itu dengan ramah.
Liyana membuka kertas tersebut. Ah betul, itu adalah tiketnya. “Makasih ya, Mas.” Ujar Liyana. Wajahnya bahagia. Tak lama pak kondektur sudah kembali lagi, dan Liyana langsung menunjukkan tiketnya.
“Makasih, Mbak.” Ujar pak kondektur dengan ramah dan kemudian berlalu dari hadapan Liyana.
XXX
“Makasih banyak ya Mas tadi udah nolongin cari tiket. Saya gak lihat tiket saya jatuh.” Ujar Liyana.
“Sama-sama, Mbak. Tadi kertas itu jatuh waktu Mbak buka blazer. Gara-gara pak kondektur nagih tiket, saya jadi keingetan kertas itu.”
“Alhamdulillah Mas lihat tiket saya jatuh. Saya ingetnya narok tiket di dalam tas. Makanya tadi cari dalam tas. Bingung sendiri kok tiketnya enggak ada. Makasih banget ya, Mas. Kalo tadi tiketnya enggak ketemu bisa-bisa saya di denda atau mungkin langsung diturunin.”
Mas tersebut tertawa renyah. “Kalo diturunkan langsung sepertinya enggak, Mbak. Kalo kena denda mungkin tuh atau diturunkan di stasiun terdekat.”
Liyana jadi ikutan ketawa. Ia menertawai kebodohannya ngomong diturunin langsung. Bener juga kata Mas ini, paling banter ia diturunkan di stasiun terdekat atau kena denda beberapa kali lipat harga tiket. Wah kalo kena denda judulnya bukan backpacker lagi ini seh.
“Asli Yogya ya, Mas?” tanya Liyana. Pertanyaan basa basi.
“Ooo bukan.”
“Kirain orang Yogya, logat bicara seperti orang jawa.”
“Oiya, saya asli jawa, Mbak. Tapi bukan Yogya. Ini kebetulan ada urusan kantor aja ke Yogya.”
“Oooo. Kirain.”
“Mbak asli Yogya?”
“Enggak juga, Mas. Kebetulan saya mau liburan aja. Refreshing”
“Ooo, saya kirain mau meeting.”
“Baju saya aja yang style-nya kayak mau meeting penting. Aslinya mah mau liburan. “
“Ooo dari kantor langsung ke stasiun?”
“Iya, tadi buru-buru keluar dari kantor jadi gak sempet ganti baju santai. Sampe sepatu aja saya kelupaan ganti.”
“Oooo..” Si Mas tersenyum.
XXX
Laju kereta mulai melambat. Stasiun Tugu. Selamat datang di Yogyakarta. Kota yang katanya ngangenin. Penumpang bersiap turun. Begitu juga dengan Liyana. Satu persatu penumpang melompati pintu gerbong kereta. Turun ke peron kemudian berjalan ke arah pintu keluar. Begitu juga Liyana. Setelah keluar dari pintu gerbong, Liyana celingak celinguk mencari sosok teman-temannya. Ah nasib telat konfirmasi ikut, jadi beda sendiri deh tempat duduknya.
“Duluan, Mbak.” Ujar pemuda yang duduk di sebelah Liyana tadi.
“Oh iya, Mas. Monggo..monggo..” balas Liyana.
Tak lama setelah itu Liyana akhirnya menemukan sosok lima orang sosok temannya yang lain.
“Wuidiiiiih, masih shubuh gini dah ngobrol sama yang ganteng aja say.” Ujar Nina.
“Liat aja lu. Tadi itu bapak yang duduk di sebelah gue. Penyelamat di saat gue kelimpungan cari tiket.”
“Maksudnya?”
“Iya, seinget gue tiket tuh gue tarok di tas. Eee pas mau diperiksa gue cari di tas kagak ada. Alhamdulillah dia liat tiket ada kertas jatuh saat gue buka blazer.” Ujar Liyana.
“Eh iya, kenapa style lu begini, Li?”
“Aduh ceritanya panjang. Entar aja gue ceritain. Hayuk cus ah ke hotel.”
“Ah palingan juga drama “disiksa” bos lagi di kantor. Alhamdulillah masih bisa sampe sini. Bener gak, Li?” Tanya Vlo.
“Gitu deh.”
Liyana meninggalkan stasiun Tugu bersama tiga orang temannya. Nina, Vlorina, dan juga Sienna. Welcome to Yogyakarta.
XXX
Mataram, 26 Maret 2018