Inikah Dia Trauma Pasca Bencana Itu?
Inilah sebuah pengalaman hidup yang mungkin tidak akan pernah saya lupakan seumur hidup saya. Sebuah pelajaran hidup yang sangat berharga. Merangkai kata-kata ini di kota yang terletak lebih dari 1000 KM dari pusat kejadian. Otak ini berusaha mencari pilihan-pilihan kata, jari jemari menari-nari di atas keyboard laptop, kata-kata terangkai di layar monitor, dengan mulut dan hati tidak putus berdoa dan berharap kepada ilahi semoga ini menjadi yang pertama sekaligus yang terakhir. Once in a life time.
Tidak pernah terbayangkan sebelumnya bahwa hari itu, Minggu 29 Juli 2018 adalah hari pertama dimulainya perjalanan hidup dengan gempa bumi yang akan membayangi kehidupan sehari-hari. Pagi itu waktu menunjukkan pukul 06:47:39 WITA, tiba-tiba bumi bergetar. Sontak saya dan keluarga lari keluar rumah. Gempa bumi menggetarkan tanah lombok. Sedari lahir tinggal di Indonesia, tentunya ini bukanlah pengalaman pertama merasakan gempa. Dan ini juga bukanlah pengalaman pertama saya merasakan gempa di pulau Lombok. Ini merupakan yang kesekian. Tidak butuh waktu lama, informasi tentang gempa bumi yang menguncang pulau Lombok menjadi headline berita.
Hari/ tanggal | Waktu | Magnitudo | Kedalaman | Lokasi | Keterangan |
Minggu, 29 juli 2018 | 06:47:39 WITA | 6,4 SR | 24 KM | 8,4 LS
116,5 BT |
Lombok Timur |
Minggu, 29 juli 2018 | 09:50:32 WITA | 5,7 SR | 10 KM | 8,22 LS
116,46 BT |
Lombok Utara |
Dua kali gempa dengan guncangan yang agak besar saya rasakan. Ternyata di hari itu gempa susulan dengan skala lebih kecil terjadi hingga puluhan kali di sekitar pusat gempa. Pemicu dari gempa tersebut yaitu deformasi batuan dengan mekanisme pergerakan naik (thrust fault).
Perhatian masyarakat dan juga pemerintah tertuju kepada wilayah yang paling parah terkena dampak gempa yaitu daerah kabupaten Lombok Timur dan kabupaten Lombok Utara. Bahkan bapak Presiden dan juga pak Gubernur turun hingga ke lokasi pusat gempa. Bersama untuk bersiap bangkit dari hantaman gempa.
Tanpa bisa dicegah, pada hari Sabtu, 4 Agustus 2018-di hari ketujuh berbenah dan menata kehidupan, gempa kembali mengguncang Lombok pukul 13:44:54 wita dengan pusat masih di Lombok Timur. Jenis gempa ini masih sama dengan gempa sebelumnya yaitu gempa bumi dangkal akibat sesar naik Flores (Flores Back Arc Thrust). Gempa sekali lagi mengguncang Lombok dengan skala 4,8 SR.
Sebuah “isu” sempat berkembang di masyarakat. Entah darimana asalnya. Saya juga tidak tahu. Lombok harus bersiap untuk menghadapi gempa dengan skala yang lebih besar di hari minggu. Anak sulung saya, Adha, juga mendengar tentang ini. Di hari Minggu, sore hari ia berkata kepada saya: “Alhamdulillah ya, Bunda enggak ada gempa lagi.”. Ya tentu saja informasi tentang kapan hari pasti terjadinya gempa tidak akan saya percayai dengan begitu saja. Seperti kita ketahui belum ada satupun teknologi yang bisa memberikan informasi secara akurat kapan dan di mana akan terjadi sebuah gempa. Hingga kini yang satu ini masih kuasanya Ilahi.
Malam itu, Minggu, 5 Agustus 2018, adzan isya telah berkumandang. Suami dan duo bujang kecil saya melangkahkan kaki mereka ke mesjid. Apalagi jika bukan menunaikan kewajiban sholat isya. Saya di rumah dengan Nadya-gadis kecil saya yang baru berusia dua tahun, dan juga mbak Ani, mbak yang membantu saya mengurus anak-anak. Saya baru saja selesai menunaikan sholat isya, tiba-tiba tanah lombok kembali berguncang dengan kuat. Gempa bumi! Nadya yang sedang digendong mbak Ani langsung lari keluar diikuti oleh saya yang berlari sambil memakai kerudung. Kami keluar dari rumah tanpa menggunakan sandal.
Di luar bumi masih terus bergetar. Lampu seketika padam. Saya, mbak Ani, Nadya dan mbak Nunung- tetangga depan rumah saya berpelukan hingga getaran tidak lagi kami rasakan. Tidak lama setelah gempa selesai lampu kembali menyala. Alhamdulillah. Tidak lama kemudian suami dan juga duo bujang kecil saya kembali dari mesjid. Mbak Ani pulang ke rumahnya yang tidak jauh dari rumah saya.
Malam itu isu tsunami berkembang. Tentu saja ini membuat suasana semakin panik. Jalanan macet kata beberapa tetangga yang sempat keluar dari perumahan kami. Saya dan keluarga memilih tetap bertahan di depan rumah kami karena letak rumah kami agak jauh dari laut.
Gempa terjadi beberapa kali malam itu. Dengan kekuatan yang cukup kencang terasa di Mataram. Malam itu tak satupun dari kami yang berani masuk ke dalam rumah. Semua memutuskan untuk tidur di luar.
Hari/ tanggal | Waktu | Magnitudo | Kedalaman | Lokasi | Keterangan |
Minggu,
5 Agustus 2018 |
19:46:35 WITA | 7 SR | 15 KM | 8,37 LS; 116,48 BT | Lombok Timur |
Minggu,
5 Agustus 2018 |
20:49:52 WITA | 5,6 SR | 10 KM | 8,28 LS; 116,17 BT | Lombok Utara |
Minggu,
5 Agustus 2018 |
23:11:28 WITA | 4,8 SR | 10 KM | 8,27 LS; 116,02 BT | Lombok Utara |
Minggu,
5 Agustus 2018 |
23:20:42 WITA | 3,9 SR | 10 KM | 8,21 LS, 116,17 BT | Lombok Utara |
Minggu,
5 Agustus 2018 |
24:49:41 WITA | 5,1 SR | 10 KM | 8,18 LS; 116,25 BT | Lombok Utara |
Hari-hari berikutnya bagi saya gempa bumi semakin menunjukkan ke-anomaliannya. Tidak ada lagi satu kali dua kali gempa kemudian kehidupan berjalan seperti semula. Gempa datang menyapa setiap hari. Keesokan harinya saya merasakan gempa susulan di pagi hari. Raga mulai bereaksi otomatis untuk keluar dari rumah.
Pola aktivitas di dalam rumah sedikit berubah. Kini tidak ada lagi bersantai-santai di dalam rumah yang agak jauh dari pintu keluar. Sebisa mungkin pekerjaan-pekerjaan yang perlu dilakukan di dalam rumah diselesaikan dengan cepat supaya bisa beraktivitas lebih banyak di ruangan yang lebih dekat dengan pintu keluar. Anak-anak juga terkena imbas peraturan baru saya. Yang tadinya sangat senang bermain air di taman belakang dan juga kamar mandi belakang, kini mau tidak mau mandi di kamar mandi depan dan lebih banyak menghabiskan waktu di ruang tamu, taman depan dan juga luar rumah.
Respon raga saya juga mulai sedikit berubah terhadap berbagai getaran yang terasa. Perasaan kok gempa terus. Sering kali saya bertanya kepada orang yang sedang berada di sekitar saya: “Eh gempa gak ya?”.
Gempa dengan getaran yang luar biasa ternyata belumlah usai. Di siang hari tanggal 7 Agustus 2018. Bik Sahni sudah pamit untuk istirahat siang. Pulang ke tempat pengungsiannya di taman kota Selagalas. Saya di rumah dengan Rama-anak kedua saya, dan Nadya, anak saya yang paling kecil. Hari itu mentari bersinar dengan sangat terik. Sepertinya Rama melihat tanda kelelahan pada diri saya. Ia mewanti-wanti saya untuk tidak tidur ketika menyusui adiknya. Ia ingin ditemani bermain lego. Eh tapi sepertinya kantuk dan kelelahan fisik tidak tertahankan. Sepertinya saya sempat tertidur karena saya terbangun oleh pukulan Rama di tangan saya.
“Tuh kan, Bunda tidur. Enggak temenin Ama main lego.” Seketika saya terkejut. Membuka mata.
“Maafin ya, Nak. Ayo-ayo kita main lego.”
Si kecil tidak jadi tidur. Matanya kembali bulat besar. Dan tidak lama kemudian sebuah guncangan hebat kembali terasa, mengagetkan jiwa dan raga ini. Lemari berderit. Tanah bergetar. Gempa bumi lagi. Seketika saya langsung memakai kerudung dengan cepat sambil membuka pintu. Rama lari keluar rumah duluan, saya menggendong Nadya dan kemudian ikut berlari di belakang Rama. Kami berdiri di tengah jalan. Tanah masih terasa bergetar. Gempa ini terasa kencang sekali. Saya mengabari suami dan juga keluarga lainnya bahwa ada gempa besar lagi dan saya dalam posisi aman. Yang mengagetkan saya ketika berkabar dengan pak suami yaitu beliau dan anak sulung saya sedang berada di Lombok Utara yang mana merupakan pusat gempa. Alhamdulillah mereka baik-baik di sana. Sedikit lega.
Oh ya, sebelum keluar rumah saya sempat mendengar suara benda-benda jatuh dari dalam rumah. Dan sore hari, ketika keadaan sudah mulai tenang saya memberanikan diri untuk masuk ke dalam rumah. Benar saja banyak sekali perabotan yang berjatuhan di lantai, termasuk beberapa gelas kaca.Fuih!
Tak perlu waktu lama info sumber gempa sudah saya dapatkan. Sekali lagi di laut Lombok Utara namun tidak terlalu jauh dari kota Mataram. Kini gempa bumi bagaikan gerbong kereta api yang sambung menyambung, menghantam pulau yang terkenal dengan sebutan pulau seribu mesjid ini. Setelah hari itu gempa-gempa susulan dengan skala lebih kecil masih terus berulang-ulang di Lombok Utara dan Lombok Timur.
Gempa dengan skala besar-6,2 SR kembali terasa di siang hari pada tanggal 9 Agustus 2018. Masih dengan pusat gempa di Lombok Utara. BMKG pun mencatat bahwa hingga tanggal 14 Agustus 2018 pukul 14:00 WITA gempa sudah terjadi 632 kali terhitung sejak gempa tanggal 5 Agustus 2018. Sungguh sebuah catatan yang luar biasa bagi saya.
Gempa skala 7 SR untuk kedua kalinya menghantam pulau Lombok. Di hari minggu malam tanggal 19 Agustus 2018 pukul 22:56:27 wita. Gempa ini diikuti dua gempa susulan yang tidak jauh beda kekuatannya. Lampu seketika padam. Berbeda dengan sebelumnya, malam itu lampu tidak nyala hingga pagi hari. Suasana menjadi gelap dan mencekam.
“Pak, kita pulang aja ke Yogya atau ke Bogor juga enggak apa-apa.” Begitu ujar Adha, anak sulung kami.
Saya dan suami berdiskusi cepat. Keputusan untuk bertahan di Lombok akhirnya kami urungkan. Malam itu juga langsung cari tiket untuk pulang. Kami putuskan untuk pulang di hari senin sore. Bye Lombok, I’ll be back. Saya pergi untuk kembali.
(27/8/2018) Hari ini genap tujuh hari meninggalkan pulau Lombok. Kembali kepangkuan ibunda di kota hujan, Bogor. Namun sepertinya jiwa dan raga saya ini butuh waktu lebih lama lagi untuk pulih dari “perasaan gempa”. Berbeda dengan tiga anak saya. Mereka seperti biasa saja. Alhamdulillah senyuman, canda tawa masih menghiasi wajah mereka. Tidak lagi saya temukan wajah pias ketika hari minggu malam itu. Deru mobil dan motor ataupun benda lainnya yang berbunyi kencang sepertinya juga tidak mengganggu mereka. Sungguh seperti bumi dan langit dengan yang saya rasakan.
Mobil dan motor memang hilir mudik di depan rumah mama saya ini. Derunya mulai dari sebelum shubuh hingga malam hari, mereka melintas tak kenal waktu. Dan ketika mereka ngebut, seketika perasaan tanah bergetar muncul di dalam otak dan perasaan saya. Gempa…gempa…gempa. Kaki ini bawaannya udah pengen lari aja keluar rumah. Mencari tempat berlindung yang aman. Namun kemudian saya berusaha untuk menguasai diri. Istighfar. Tarik nafas dalam-dalam, kemudian hembuskan perlahan. Inhale exhale. Berkata kepada diri sendiri bahwa ini Bogor, bukanlah Lombok. Mengsugesti diri dengan cepat bahwa getaran itu hanyalah perasaan saya saja. Bumi sedang tidak berguncang. Ini hanyalah reaksi raga yang masih limbung untuk membedakan asal muasal getaran. Walau jantung ini berdetak lebih kencang. Tidak hanya deru mobil dan motor, reaksi yang sama juga saya rasakan ketika mendengar suatu benda berbunyi dengan kencang.
Saya berdiskusi dengan beberapa teman, dan saya juga membaca beberapa status teman-teman di media sosial mereka tentang keluh kesah selama “berteman akrab” dengan gempa tiga minggu terakhir, ternyata oh ternyata saya tidak sendiri merasakan hal yang sama-limbung dalam membedakan sebuah getaran dan bunyi. Inikah yang disebut dengan trauma itu????
Gempa masih terus membayangi Lombok dan sekitarnya hingga tulisan ini saya terbitkan di blog. Tetap berdoa, tetap waspada! Turut berdoa dari jauh untuk semua teman-teman dan juga masyarakat Lombok dan sekitarnya yang masih terus bertahan untuk tetap tinggal di lombok.
Bogor, 27 Agustus 2018
Salam
Vidy
Sumber data: www.instagram.com/infobmkg
Ya Allah, hanya bisa membayangkan perasaan trauma tersebut, semangat ya mba 🙂
Yup tetap semangat. Makasih udah mampir
Keep strong mb
teruss menulis di blog ini yukk
menulis juga bisa untuk terapi
Insya allah. Iya mbak, bener banget menulis bisa dijadikan sebagai terapi. Alhamdulillah udah sedikit berkurang neh rasa kaget denger suara-suara dan getaran. Semoga tetap begitu nanti kalo udah pulang ke lombok. Makasih ya mbak udah mampir
Tetap semangat mbak, jangan lupa terus berbagi dengan kami ya agar tetap menginspirasi. itung itung mbak bisa meluapkan segala yang ada dipikiran mbak. semoga lekas aman…