Di Antara Taat dan Cinta: Silaturahmi Rasa Lamaran
2
Silaturahmi Rasa Lamaran
Senin malam, setelah jam kerja, Luthfi meluncur ke alamat yang diberikan oleh pak Hasan. Rumah itu terlihat mewah. Bertingkat dengan dominasi cet berwarna putih. Ternyata benar desas desus di jurusan Luthfi selama ini bahwa Nadira adalah anak dari kalangan berada. Tapi selama masa kuliah Nadira tidak pernah menunjukkannya. Pun begitu dengan pak Hasan yang dikenal Luthfi setahun sebelum lulus kuliah. Ia begitu merakyat. Luthfi menelan ludah. Tekadnya sudah kuat. Ia tidak akan mundur untuk sebuah fakta yang baru saja ia ketahui.
“Assalamualaikum.” Luthfi mengetuk pintu rumah pak Hasan.
“Waalaikumsalam.” Terdengar jawaban dari dalam rumah.
Pintu dibuka dari dalam rumah. Seorang wanita paruh baya yang membukakan pintu. “Silahkan masuk, Mas.” Ujarnya.
Luthfi masuk. “Silahkan duduk dulu. Saya akan beritahukan Bapak dan Ibu di dalam.”
“Terima kasih, Bu.”
Wanita paruh baya tersebut masuk ke dalam rumah.
Tak lama kemudian pak Hasan datang ke ruang tamu. “Assalamualaikum, Luthfi.” Ujar pak Hasan. Wajahnya sumringah.
“Waalaikumsalam, Pak. Apa kabar?”
“Baik. Alhamdulillah. Saya senang sekali kamu mau bersilaturahmi ke sini.”
“Sama-sama, Pak.”
Kemudian datang bu Hasan dari dalam rumah.
“Assalamualaikum, Bu.”
“Waalaikumsalam. Apa kabar, nak Luthfi?”
“Baik, Bu. Oh iya, maaf saya hampir saja lupa. Ini ada sedikit kue dan buah-buahan.”
“Oalah Nak Luthfi repot-repot segala bawa makanan.”
“Tidak, Bu. Ini tidak merepotkan.”
“Terima kasih banyak, ya.” Bu Hasan tersenyum sumringah.
“Sama-sama, Bu.”
“Oh ya Pak, makan malamnya sudah siap. Ayo kita makan dulu.” Ujar Bu Hasan.
“Baik, Bu.” Sebuah senyuman merekah di wajah Pak Luthfi. ” Ayo Fi, kita makan dulu sebelum ngobrol-ngobrol.” Tambah pak Hasan.
“Saya jadi merepotkan Bapak dan Ibu.” Luthfi jadi tidak enak hati sendiri.
“Ayo makan dulu. Tidak usah sungkan.” Ujar bu Hasan.
Bertiga, Pak Hasan, bu Hasan beserta Luthfi makan malam.
XXX
Pak Hasan dan Luthfi kembali ke ruang tamu setelah selesai makan. Sedangkan bu Hasan membantu mbak Runi, asisten rumah tangga bapak dan ibu Hasan, merapikan meja makan.
“Nah ngobrol lebih enak kalau perut sudah terisi, Bukan begitu, Fi.”
Luthfi tersenyum. “Bapak bisa saja.” Timpal Luthfi.
“Bagaimana pekerjaanmu di kantor, Fi?”
“Alhamdulillah baik, Pak.”
“Tidak terasa sudah setahun lebih kamu dan Dira lulus.”
“Dira?”
“Nadira.”
“Ah ya, Nadira.”
“Di kampus Dira dipanggil dengan nama lengkapnya?”
“Jarang, Pak. Kecuali jika berhubungan dengan dosen. Kalau teman-teman biasanya memanggil Nadira dengan panggilan Nad.”
“Ah ya..ya…Kamu jadi sedikit bingung ya saya memanggil dengan sebutan Dira.” Pak Hasan tertawa melihat Luthfi yang salah tingkah..
“Dira kerja di Jakarta juga, Pak?”
“Iya. Tapi sedang tugas keluar kota. Katanya malam ini pulang. Mungkin sedang di pesawat.”
“Oooo.”
Hening. Bu Hasan datang bergabung ke ruang tamu dengan membawa beberapa irisan melon di piring.
“Ayo dimakan.” Ujar bu Hasan.
“Iya Bu. Terima kasih. Hm……begini Pak….,” Luthfi terdiam.
“Ya, kenapa Fi?”
Luthfi masih diam. Ia sedikit tegang. Ia masih berusaha keras mencari rangkaian kata yang tepat. Duh kenapa jadi grogi begini. Batin Luthfi.
“Sebelumnya saya mohon maaf sama Bapak dan Ibu jika kedatangan saya ke sini begitu mendadak. Padahal baru tadi pagi saya berkomunikasi lagi dengan Bapak. Saya tidak menyangka kalau Bapak langsung menyanggupi untuk bertemu malam ini.”
“Saya salah pilih hari ya.”
“Tidak-tidak, Pak. Saya hanya sedikit surprise saja, Bapak mau meluangkan waktu untuk saya. Saya pikir untuk bertemu dengan Bapak yang memiliki jadwal padat, setidaknya membuat janji satu atau dua hari sebelumnya, Pak.”
Pak Hasan tertawa. “Peraturan itu tidak berlaku untuk kamu, Fi. Kecuali kalau tadi kamu membuat janji melalui sekretaris saya di kantor.”
Luthfi tersenyum.
“Kamu tahu, Fi. Saya justru senang kamu mau main ke sini bertemu saya. Saya pikir setelah kejadian dua tahun yang lalu, kamu tidak mau lagi bertemu dengan saya, Fi.” Tambah pak Hasan.
“Maafkan saya kalau waktu itu saya…”
“Tidak. Tidak apa-apa, Fi. Kamu sama sekali tidak perlu merasa bersalah. Saya yang terlalu terburu-buru. Kalau kata Ibu saya tidak sabaran. Bukan begitu, Bu?”
“Iya, nak Luthfi. Maafkan Bapak saat itu. Harusnya kamu kosentrasi kuliah karena sudah mau tugas akhir, Bapak malah nambah-nambahin beban pikiranmu saja. Sudah, tidak usah dipikirkan lagi masalah itu. ”
“Iya, Bu. Terima kasih atas pengertiannya. Hm…begini, Pak, Bu. Sebenarnya kedatangan saya kemari bukanlah tanpa tujuan. Oleh karena itu sebelumnya saya mohon maaf sama Bapak dan Ibu jika ini terlalu tiba-tiba.”
“Ada apa, Fi? Sepertinya serius sekali. Kamu Baik-baik sajakan?” Wajah pak Hasan seketika berubah cemas melihat wajah Luthfi yang tegang.
“Iya, Pak. Alhamdulillah saya baik-baik saja.” Jawab Luthfi cepat. “Begini, Pak, jika diperkenankan, bolehkah saya dan keluarga bersilaturahmi ke sini, bertemu bapak, ibu dan keluarga lainnya untuk melamar Nadira.”
Ketegangan di wajah Luthfi sedikit berkurang setelah menyampaikan maksud dan tujuannya. Ia lega. Kini gantian bapak dan Ibu Hasan yang terkejut dengan permintaan Luthfi. Bu Hasan menutup mulutnya dengan kedua tangannya.
“Kamu serius, Fi? Kamu ingin melamar Nadira?” Ujar pak Hasan.
“Iya, Pak. Saya serius.”
“Apakah keluargamu sudah tahu tentang ini?”
“Sudah, Pak. Akhir pekan kemarin saya pulang ke Bandung untuk bertemu ibu dan juga Pakde saya. Seperti Bapak tahu kalau bapak saya sudah meninggal lima tahun yang lalu. Kalau pakde saya setuju saja. Sedikit banyak beliau sudah tahu tentang Bapak dan Ibu dari pak Ilham. Pak Ilham tidak hanya dekat dengan bapak saya, tapi juga dengan pakde. Dan tadi pagi Ibu sudah mengizinkan saya untuk bertemu Bapak dan Ibu.”
“O….o…o…” Dengan terpatah-patah pak Hasan merespon jawaban Luthfi. Terkejut dan senang bercampur menjadi satu. Ia Tidak tahu harus berkata apa lagi. Luthfi jauh lebih matang daripada usianya dalam berpikir dan bertindak. Batin pak Hasan. “Saya…saya senang sekali mendengarnya, Fi. Sungguh ini sebuah kejutan yang luar biasa malam ini. Dira mungkin masih di jalan. Nanti sepulangnya Dira ke rumah, saya dan Ibu akan membicarakan hal ini kepada Dira.”
“Iya, Pak.”
Hening lagi. Pak Hasan dan Luthfi sibuk dengan pikirannya masing-masing.
“Ayo buahnya di makan dulu, Fi.” Ujar bu Hasan berusaha mencairkan suasana.
“Iya, Bu. Terima kasih.” Luthfi mengambil satu potong buah melon. Begitu juga dengan pak Hasan.
Setelah makan buah, keadaan sedikit mencair. Luthfi sudah bisa menguasai ketegangannya. Sedangkan Bapak dan Ibu Hasan sudah sedikit tenang.
“Airnya jangan lupa diminum, Fi.”
“Iya, Bu.”
Setelah menghabiskan sisa teh yang disuguhkan bu Hasan, Luthfi meletakkan kembali cangkir teh tersebut di meja. Pak Hasan tersenyum.
“Lihat, Bu. Ia masih sama dengan Luthfi yang saya kenal dulu.”
Luthfi bengong mendengar ucapan pak Hasan. Pak Hasan tersenyum.
“Luhtfi, untuk banyak hal-hal kecil saya benar-benar harus banyak belajar dari kamu. Menjaga sebuah konsistensi itu bukanlah suatu hal yang mudah. Sulit. Lebih sulit daripada memulai sesuatu.”
“Maksudnya Pak?”
“Saya masih ingat dengan jelas ketika dulu kamu juga menghabiskan satu cangkir kopi. Biasanya orang-orang akan menyisakan sedikit minuman yang ada di gelas, tapi kamu tidak. Kamu menghabiskannya. Sayang. Mubazir. Nanti sisa minuman ini pasti akan dibuang oleh si empunya. Padahal ini adalah rezeki dari Allah Ta’ala.”
Luthfi jadi salah tingkah mendengar ucapan pak Hasan. Ia tidak menyangka pak Hasan masih mengingat hal-hal kecil seperti itu. Tak lama kemudian taksi datang menjemput Luthfi. Ia kemudian pamit kepada bapak dan ibu Hasan.
XXX
NOTE:
Please follow our instagram account to get news update about this novel. Our IG account: @novelbyviedyana