Gempa Bumi, dan Trauma Healing untuk Anak-anak

The Shocking Earthquake
(5 Agustus 2018), Adzan isya telah berkumandang dari pengeras suara mesjid dekat rumah saya. Suami dan duo bujang kecil saya bersiap untuk menunaikan kewajiban sholat isya. Ketika iqomah terdengar mereka berangkat ke mesjid. Saya tetap di rumah dengan Nadya, putri kecil kami dan mbak Ani, mbak yang membantu saya mengurus anak di rumah. Kami bergantian sholat isya karena salah satu jagain Nadya. Kebetulan saat itu Nadya sedang tidak mau diajak sholat bersama-sama. Hidup berjalan seperti biasa.
Suami dan duo bujang kecil saya belum pulang dari mesjid, tiba-tiba lantai rumah terasa bergetar, lemari berderit, kain gordyn terayun-ayun. Awalnya getaran terasa pelan kemudian terasa kencang dalam hitungan detik saja. Allahu akbar, gempa!

Saya dan mbak Ani spontan berlari keluar rumah. Tanpa alas kaki. Bumi masih terus bergetar. Diluar kami berpelukan. Berempat. Dengan Nadya dan tetangga di depan rumah saya. Lampu padam. Malam menjadi semakin gelap gulita dan suasana jadi mencekam. Saya teringat suami dan duo bujang kecil di mesjid. Terbayang pasti mereka berdesak-desakan keluar pintu dan pager mesjid.
Gempa kali ini terasa lebih kuat dan lama dibandingkan gempa yang terjadi sebelumnya, 29 Juli. Berita sedih akibat gempa-gempa masih hangat dalam ingatan. Beberapa bagian di gunung Rinjani longsor, pendaki gunung asal Malaysia meninggal, banyaknya korban yang tertimpa reruntuhan bangunan, dan lain-lain. Gempa susulan dalam skala kecil terus terjadi.
Alhamdulillah pemadaman lampu tidak berlangsung lama. Malam kembali terang. Sedikit lega. Saya langsung teringat diskusi dengan suami saya dua hari sebelumnya. Suami yang biasa bekerja dengan pergerakan-pergerakan tanah berkata bahwa jika gempa-gempa kecil ini terus terjadi maka ada dua kemungkinan, gempa akan berhenti atau kami harus bersiap untuk sebuah gempa yang lebih besar. Namun entah kapan waktunya. Allahu Akbar! Apakah ini The Main Earthquake itu??? Allahu’alam.
Setelah gempa berhenti agak lama suami dan duo bujang kecil saya datang. Alhamdulillah, mereka baik-baik saja. Dan mbak Ani pun pamit untuk pulang ke rumahnya.
Dan ternyata tragedi gempa ini belumlah usai. Sekali lagi gempa terasa. Lebih kencang dengan tempo waktu yang lebih singkat. Anak sulung saya spontan hendak berlari padahal posisi kami sudah cukup aman dengan tetap berada di jalan, tidak di dalam rumah. Astagfirullah, sekuat tenaga saya membuang jauh pikiran bahwa anak sulung saya mengalami trauma pasca gempa bumi. Tidak, itu hanya suatu ke-spontanitasan seorang anak kecil. Ini harap saya.
Malam itu saya, suami, anak-anak, beberapa keluarga teman suami saya dan juga para tetangga yang memilih bertahan di komplek tidur di luar. Ada yang yang tengah jalan, ada juga yang di garasi mobil dengan posisi gerbang yang dibuka lebar. Dibuka poll. Tak satu pun yang berani tidur di dalam rumah.
Hari-hari Menunggu Gempa
Hari-hari berjalan lambat. Gempa-gempa kecil masih terus menggetarkan tanah Lombok. Dua puluh empat jam siaga gempa. Pagi, siang, malam. Ya, gempa tidak pernah mengenal waktu. Seperti bayangan, rasa was-was selalu mengikuti setiap melakukan aktivitas, terutama aktivitas di dalam ruangan atau rumah. Sebisa mungkin saya dan keluarga melakukan aktivitas lebih banyak di dekat pintu keluar rumah. Kalau enggak penting-penting amat ya enggak akan lama-lama di bagian dalam rumah yang agak jauh dari pintu keluar.
Anak bujang saya sempat bertanya dengan kebiasaan di rumah yang berubah total. Biasanya mereka bebas bermain di semua area rumah. Namun sejak rangkaian gempa bumi menerjang Lombok, mau tidak mau suka tidak suka saya sedikit tegas dengan aturan di mana boleh bermain. Setelah diberi pengertian tentang siaga gempa yang sedang dijalani, mereka mengangguk-angguk.

Gempa yang tak kunjung usai ini juga membuat banyak warga mengungsi dari rumah mereka. Ada yang mengungsi agak jauh dari rumah, namun ada juga yang dekat atau bahkan membuat tenda di depan rumah mereka.
Trauma Healing untuk Anak-anak
H+1 sejak gempa yang terjadi di hari minggu malam, 5 Agustus, otomatis anak-anak tidak berangkat sekolah. Belajar di rumah. Pun begitu dengan dua anak bujang kecil saya. Boro-boro berpikir untuk berangkat sekolah, fokus beralih kepada penanganan mental anak-anak ini terhadap gempa. Dampak dari sebuah trauma di masa kecil bisa terbawa hingga dewasa. Jangan! Jangan sampai ini terjadi. Saya membuang jauh-jauh pikiran trauma akan menghampiri anak-anak saya. Alhamdulillah hingga tulisan ini saya turunkan senyuman dan wajah ceria masih terlukis di wajah anak-anak saya. Mereka masih bersemangat menjalani hari-hari ditengah-tengah gempa yang masih menghantui. Di dalam hati, saya tidak lupa mengucap syukur kepada yang Di Atas setiap melihat raut wajah anak-anak.
Tapi, penerimaan setiap anak terhadap gempa tentunya berbeda-beda. Sedih. Sungguh saya sedih mendengar cerita beberapa teman tentang anak-anak mereka. Ada yang langsung menjerit, menangis ketika bumi mulai bergetar. Ada yang langsung lari memeluk ibunya ketika ada sesuatu yang bergetar atau sesuatu yang berbunyi kencang. Padahal bukan gempa. Oh Nak, trauma mulai merasuk di jiwa. Hiks.
Menyikapi gempa ini, ada beberapa hal yang terus saya dan suami lakukan terhadap anak-anak kami.
- Bersikap tenang dan berserah diri kepada ilahi. Jujur, saya adalah tipe orang yang panikan. Pun begitu ketika gempa terjadi. Jadi untuk bersikap tenang bukanlah perkara yang mudah bagi saya. Sulit. Sungguh sulit. Alhamdulillah suami lebih bisa menguasai keadaan ketika gempa terjadi. Ia berusaha untuk tenang dan juga berusaha menenangkan saya dan anak-anak. Everything will be fine. Kata pak suami saya kalau kita sebagai orang tua memperlihatkan rasa takut yang berlebihan di depan anak, bagaimana dengan anak-anak kita. Tentunya mereka akan lebih takut lagi. Jadi berusahalah untuk tenang dan serahkan semua kepada Allah Ta’ala. Insya allah anak-anak juga akan ikutan tenang melihat orang tua mereka yang juga tenang. Percayalah mempraktekkan poin yang satu ini sungguh tidak semudah merangkai kata-kata di paragraf ini. Butuh sebuah usaha yang lebih dari yang biasanya. Just believe, you can do it!
- Lari dan berdiri diam. Biasanya hal yang sering kita lakukan ketika merasakan gempa yaitu berlari ke tempat yang di rasa aman. Jika sedang berada di dalam rumah biasanya kita berlari keluar rumah, jika sedang di dalam gedung, lari ke luar gedung. Setelah berdiri di tempat yang dirasa aman maka berdirilah dengan tenang hingga gempa di rasa sudah selesai. Berhubung kedua bujang kecil saya seperti ada alarm otomatis dalam diri mereka untuk berlari ketika gempa terasa, jadi “pekerjaan rumah” saya dan suami yaitu berusaha untuk memberi pengertian kepada mereka bahwa solusi ketika gempa terjadi tidak hanya lari, tapi ketika sudah berada di tempat yang cukup aman, maka cukup berdiri hingga keadaan dirasa aman. Hal ini kami lakukan karena beberapa kali anak bujang saya yang besar ingin lari terus padahal kami sekeluarga sudah berdiri di tempat yang dirasa aman dari akibat gempa.
- Memperbanyak Zikir. Saya dan suami juga berusaha untuk mengajak anak-anak berzikir. Berulang-ulang. Allahu akbar, astagfirullah, dan lain-lain. Apapun keadaan yang sedang dilalui dan dijalani, harus selalu mengingat Allah Ta’ala. Memohon ampun kepada Allah Ta’ala.
- Sebuah pelukan. Sebuah pelukan cukup ampuh menenangkan gadis kecil saya yang baru berusia dua tahun. Ia tiba-tiba menangis melihat orang-orang lari terburu-buru di depannya ketika gempa terjadi. Walau mungkin ia belumlah mengerti apa yang sedang terjadi. Setelah digendong dan dipeluk tangisnya reda.
- Bermain. Bermain adalah salah satu cara saya untuk mengalihkan fokus pikiran anak-anak. Bermain apa saja. Yang penting mereka merasa nyaman dan bahagia. Terkadang anak-anak saya juga mengajak temannya satu komplek untuk bermain bersama-sama. Dalam situasi siaga yang masih siaga gempa, melihat tawa anak-anak sungguh sebuah anugrah yang tidak ternilai.
Ya, kedatangan bencana alam tidak bisa ditolak. Namun yang pasti semua terjadi atas izin dan kehendak Allah Ta’ala. Seburuk apapun keadaan kita haruslah tetap berupaya untuk berpikiran positif dan menyikapinya dengan baik. Insya Allah akan ada hikmah dibalik semua kejadian ini. Dan khususnya untuk anak-anak, tidak, saya tidak akan biarkan rasa trauma menghampiri hari-hari mereka.
#bersamabangkit
#lombokbangkit
#tidakuntuktrauma
Mataram, 15 Agustus 2018,
Salam
Viedyana
sumber: www.instagram.com/info