Di Antara Taat dan Cinta: Dilamar Itu, Rasanya …….

BAB 5
DILAMAR ITU, RASANYA…..
Sesuai dengan kesepakatan kemarin malam, pak Hasan, bu Hasan dan Nadira berkumpul di ruang keluarga. Sunyi. Tak satu pun ada yang mau memulai pembicaraan. Nadira duduk sambil menunduk di sebelah mamanya. Bagaikan anak kecil yang baru saja ketahuan melakukan sebuah kesalahan besar.
“Pa..” bu Hasan memegang punggung tangan kanan pak Hasan. “Dira menunggu apa yang ingin Papa bicarakan.”
“Ah ya, Dira, kepala Papa rasanya masih berputar-putar dengan kejadian makan malam ini. ”
“Maaf, Pa. Dira juga tidak menyangka kalau Ardi bakal senekat ini.” Dira menundukkan kepalanya lagi.
“Seberapa jauh hubungan kalian?”
“Saya dan Ardi hanya berteman, Pa?”
“Berteman seperti apa maksudmu Dira? Kemarin ia mengantarkanmu pulang, dan malam ini ia datang menghadap Papa untuk menyampaikan niatnya memperistrimu tanpa memberitahu kedua orang tuanya terlebih dahulu. Oh Papa sungguh tidak mengerti dengan jalan pikiran anak zaman sekarang. Dipikirnya menikah itu main-main.”
“Sewaktu masih kuliah memang ada beberapa temen-temen yang seangkatan dengan Dira mencoba untuk pedekate. Sekalipun Dira enggak pernah kok Pa menanggapi mereka.”
“Ardi termasuk salah satunya?”
“Ya. Tapi yang lain mundur teratur satu persatu ketika usai wisuda.”
“Apakah teman-temanmu yang lain tahu tentang semua ini?”
“Satu angkatan tahu, Pa. Bahkan lintas angkatan pun ada yang tahu. Pedekate silih berganti tanpa henti , itu sudah jadi rahasia umum.”
“Sekarang kamu jawab pertanyaan Papa dengan jujur. Apakah kamu menyukai Ardi?”
Dira terdiam. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Ia pun tidak yakin dengan hatinya apakah menyukai Ardi atau tidak.
“Kamu menyukainya? Laki-laki seperti dia yang kamu inginkan menjadi suamimu?”
“Boleh Dira berpikir beberapa waktu tentang semua ini, Pa?”
“Of course. Take your time.”
“Tapi, Pa, tadi apa maksud Papa berbicara kepada Ardi tentang laki-laki lain yang sudah melamar Dira? Papa tidak suka dengan Ardi?”
“Sejujurnya Papa agak kurang suka dengan cara berpikirnya yang mengesampingkan orang tua dalam urusan penting seperti ini Dira. Bagi Papa menikahkan anak adalah salah satu hal yang penting. Tapi kalau kamu bertanya tentang laki-laki lain, itu benar adanya. Hal itulah sebenarnya yang ingin Papa bicarakan dengan kamu malam ini .”
Dira menelan ludah. Soal orang tua Dira setuju dengan pendapat papanya. What a stupid Ardi. Dira mengoceh di dalam hatinya. Merutuki Ardi. “Siapa, Pa?” Tanya Dira Pelan.
“Kemarin malam sebelum kamu pulang, Luthfi menemui Papa dan Mama. Ia mengutarakan niatnya ingin mengajak ibu dan keluarganya untuk melamar kamu sebagai istrinya.”
“Luthfi?” Kini giliran Dira yang mendapat kejutan dari kedua orang tuanya.
“Iya, Luthfi teman kuliah kamu, Dira.”
“Maksud Papa Luthfi Hadianto?”
“Sebentar, Mama akan ambilkan fotonya dulu ya, Dir. Supaya kamu lebih yakin,”
“Apa?” Dira bengong. Kejutan demi kejutan datang bertubi-tubi malam ini.
Mama sudah beranjak ke dalam kamar. Tidak lama kemudian membawa dua foto. Foto ketika Dira Wisuda. Mama meletakkan foto itu di meja.
“Papa masih ingat dengan foto itu?” Tanya bu Hasan.
Senyuman mengambang di wajah pak Hasan. Yang membeli kedua foto itu adalah pak Hasan sendiri. Tentu saja ia tidak akan lupa. Kedua foto itu adalah candid kamera para fotografer yang lalu lalang di sekitaran arena wisuda. Memotret siapa saja yang mereka mau. Sungguh sebuah kebetulan yang sangat menarik. Satu foto dengan Dira sebagai objek utamanya, Luhtfi dan juga banyak orang lainnya di bagian belakang. Satu foto lagi adalah Luthfi sebagai fokus utama, dengan ada Dira di bagian belakang. Tanpa bertanya harga, pak Hasan merogoh koceknya dan langsung membeli kedua foto tersebut.
Dira melongo melihat kedua foto itu. “How could it be?” Ujarnya pelan. “Kenapa Papa juga beli foto Luthfi?”
“Karena ada kamu di belakangnya, Dira. Foto ini dijual oleh fotografer yang sama. Selesai wisuda dihampar dideretan yang sama. Letaknya juga deketan. Ya sudah Papa beli saja. Suatu kebetulan yang lucu menurut Papa.”
“Yeah what a funny.” Ujar Dira.
“Jadi sekarang bagaimana? Kenapa jadi membahas foto sih?” ujar bu Hasan.
“Apanya yang bagaimana, Ma?”
“Astaghfirullah, Dira. Sekarang sudah datang dua orang laki-laki dewasa menghadap Papamu ingin memperistri kamu. Mereka berdua tentu menunggu jawaban dari kita. Seperti apa kelanjutannya. Kamu ini bagaimana toh, Nduk.”
Dira terdiam. Kepalanya mendadak pusing tujuh keliling. Kenyataan hidup seperti apa ini? Batin Dira. “Pa, Ma, boleh Dira berpikir dahulu tentang semua ini. Jujur, Dira tidak pernah terbayangkan sebelumnya akan menghadapi situasi seperti ini.”
“Tentu saja Dira. Perbanyak doa dan juga sholat istikharah. Minta petunjuk Allah Ta’ala.”
“Iya, Pa. Ada lagi yang ingin Papa bicarakan?”
“Tidak. Hanya saja dengan temanmu yang datang malam ini Papa agak kurang sreg dengan cara berpikirnya. Tolong itu dijadikan salah satu pertimbangan kamu, Dira.”
“Iya, Pa. Dira ke kamar dulu ya Pa, Ma. Kepala Dira mendadak pusing.”
“Iya.”
Dira beranjak dari ruang keluarga menuju kamarnya yang terletak di lantai atas. Pak Hasan dan bu Hasan beranjak ke kamar.
“Anak zaman sekarang ada-ada saja, Ma.”
“Iya, tapi lucu juga melihat dua anak muda ini ya, Pa.”
“Tapi Ma, Papa kok sepertinya familiar ya dengan wajah Ardi. Seperti udah pernah lihat dimana gitu.”
“Ah Papa ini bisa aja. Baru juga ketemu tadi. Atau mungkin Papa pernah lihat waktu Dira wisuda.”
“Mungkin. Tapi rasanya tidak, Ma. Entahlah. Ya sudah ayo kita tidur. Nanti malam kita sholat tahajud bareng ya, Ma”
“Siap pak Bos.”
“Mama ini bisa saja.”
XXX
Di kamar. Nadira duduk di lantai dengan bersandar ke salah satu sisi tempat tidurnya. Tiba-tiba jiwa dan raganya terasa lelah sekali. Kata orang-orang dilamar itu menyenangkan. Bikin bahagia. Kini apa yang aku rasa. Rasanya jauh dari rasa senang, jauh dari rasa bahagia. Batin Nadira. Ia menghirup udara. Inhale exhale.
Nadira meraih hapenya yang terletak di atas kasur. Mencari-cari nomor Luthfi. Got it! Nadira menelpon Luthfi. Tapi tidak diangkat. Ia mencoba hingga sepuluh kali, tak satupun diangkat. Nadira akhirnya memutuskan untuk menulis pesan lewat whatsapp messenger.
“Assalamualaikum Luthfi. Ini Nadira. Papa sudah berbicara dengan aku tentang kedatanganmu kemaren ke rumah untuk ketemu Papa. Can we talk?”
Message sent. Delivered kemudian read. Tapi tak kunjung ada balasan dari Luthfi. Nadira mencoba untuk menelpon lagi, namun hasilnya: telpon gak pernah diangkat.
XXX
NOTE:
Get news update about this novel by follow our instagram account @novelbyviedyana. Happy reading. Thank you.
Aku berada pada fase apa yang dialami Dira, bedanya, aku sama sekali tidak mengenal laki2 yg datang itu. Lanjut dong hehe. Salam, muthihauradotcom
Insya allah posting setiap hari minggu…terima kasih udah ikutan baca. Salam kenal ya mbak…
Masa muda masa penuh kejutan ya 🙂
Masa dilamar, masa penuh kejutan ya 🙂
ditunggu lanjutan ceritanya 🙂
Makasih ikutan baca…insya allah bab lanjutannya hari minggu ya