Di Antara Taat dan Cinta: A Gentleman Talk
BAB 6
A GENTLEMAN TALK
Hari Rabu terasa menjadi hari yang panjang bagi Ardi. Seharian ia tidak fokus bekerja. Menunggu sore. Ya, hari ini setelah jam kerja Ardi janjian dengan Luthfi untuk bertemu. Ardi duduk sambil menyeruput secangkir kopi di sebuah kafe yang terletak di kawasan Setiabudi Jakarta. Ia sedang menunggu Luthfi yang masih terjebak macet di salah satu jalanan ibukota. Ardi masih bertanya-tanya sejak kapan Luthfi masuk dalam daftar yang menyukai Nadira? Selama ini tidak sekalipun Ardi mendengar desas desus Luthfi ada hati untuk Nadira. Pernyataan papa Nadira kemarin malam sukses besar membuat Ardi tidak bisa tidur semaleman, dan tidak sabar menunggu malam ini untuk bertemu langsung dengan Luthfi.
Tak lama Luthfi datang.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
“Sorry, Bro. Tadi telat dikit keluar kantor.”
“Gak apa-apa. Santai aja. Lu mau minum apa? “
Seorang pelayan kafe mendekat kemudian menyodorkan satu buah buku menu. Luthfi membuka cepat buku menu.
“Ice Cafe Latte satu, Mas”
“Baik, Ada lagi?”
“Itu aja dulu. Terima kasih.”
“Baik.” Mas pelayan kafe berlalu dari hadapan Ardi dan Luthfi.
“Apa kabar lu? Tumben ngajak gue ketemuan berdua gini. Pengumuman di grup dua hari lagi anak-anak pada mau ketemuankan? “ Ujar Luthfi.
“Baek. Ada yang perlu gue klarifikasi dari elu. Gak ada hubungannya sama anak-anak. Lagi pula ini masalah pribadi.”
“Wah, kayaknya penting banget ya.”
Ardi diam cukup lama. Berpikir dari mana ia akan memulai pembicaraan tentang Nadira, Tak lama pelayan kafe datang membawa Ice Caffe Latte pesanan Luthfi.
“Terima kasih, Mas.”
“Sama-sama.” Ujar pelayan kafe kemudian beranjak pergi ke meja lain.
“Iya penting. Permasalahan yang mau gue bahas sama elu ini penting banget. Buat gue dan juga buat elu.” Akhirnya Ardi bersuara.
“Buat gue?” Luthfi mengernyitkan dahinya.
“Sejak kapan lu suka Nad?” Ardi langsung bertanya straight to the point.
“Nad? Maksud lu Nadira?”
“Iya. Nadira Atmanti Hasan. Jelas?”
“Ada apa, ya?”
“Kemarin malam gue ke rumah Nad. Melamar Nad langsung ke papanya.”
Luthfi menelan ludah. Kini ia mengerti kemana arah pembicaraan ini.
“Terus? Hubungannya dengan gue apa?”
“Luthfi…” Ardi tersenyum kecut. “Gue udah tau kalo elu juga ngelamar Nad. Sudahlah enggak usah belagak elu gak tau permasalahan apa yang gue bahas. Satu hari sebelum gue, elu juga datang ke papanya Nad, bukan.” Intonasi suara Ardi mulai meninggi.
“Ya, bener. Gue emang ngelamar Nadira dua hari yang lalu. Dan urusannya dengan elu apa?” Luthfi menjawabnya dengan kalem.
”Lu tahukan kalo gue..”
“Pacarnya Nadira?” Luthfi tersenyum. “Satu jurusan kita juga tahu bro kalo enggak ada satu pun yang berstatus pacarnya Nad. Lagian setau gue bukannya udah pada mundur satu persatu deketin Nadira. Yang gue tau juga termasuk elu. Bukannya elu udah punya gandengan baru?”
“Mungkin elu salah informasi.”
“Mungkin juga. Sekarang kembali ke masalah Nadira. Nad dan keluarganya udah kasih elu jawaban?”
“Belum.”
“Ya sudah, posisi kita sama. Nothing to be worried. Just wait and see. Who will be chosen by her.” Luthfi menyeruput Lattenya.
“Sejak kapan lu suka Nad?”
“Gue rasa itu bukan urusan lu, dan gak penting juga gue harus bilang elu sejak kapan gue suka sama Nad.”
“Lu…” Wajah Ardi menegang dan intonasi suaranya sedikit keras. Ia mengepal tangannya.
“Ada lagi yang mau lu omongin?”
Ardi berusaha menguasai emosinya. Beberapa pengunjung melirik ke arah meja mereka.
“Enggak. Gue cuma butuh klarifikasi itu. Tadinya gue pikir bukan elu yang dimaksud pak Hasan.”
“Ooo. Sekarang udah jelas bukan, ya memang bener, gue yang datang dua hari yang lalu ke rumah pak Hasan. Satisfy?”
“Satu yang perlu lu tahu dan inget, Fi. Yang pasti gue gak akan lepasin Nadira begitu aja. Lu inget itu baik-baik. Enggak akan semudah itu lu dapetin Nadira dari gue.” Ardi berdiri, kemudian meninggalkan Luthfi begitu saja.
Luthfi mengambil nafas panjang, kemudian menghembuskannya. Astaghfirullah. Ujar batinnya. Luthfi memanggil pelayan kafe yang berdiri tidak terlalu jauh dari mejanya, kemudian meminta bill. Tak lama kemudian pelayan kafe datang kembali dengan informasi bahwa bill meja Luthfi sudah dibayar oleh mas satu lagi. Ardi.
“Terima kasih , Mas.”
“Sama-sama.”
Luthfi menghabiskan lattenya kemudian beranjak pergi dari kafe tersebut.
XXX