Jelang Kelahiran, Pulang Kampung atau Bertahan di Tanah Rantau???

Jelang Kelahiran, Pulang Kampung atau Bertahan di Tanah Rantau???

Tinggal di perantauan, jauh dari keluarga besar, sekaligus menjalani kehidupan rumah tangga yang dipisahkan jarak dengan suami sungguh bukanlah suatu yang mudah untuk dipahami bagi kebanyakan orang awam. Tidak sedikit yang akan berkata kok mau menjalani hidup seperti itu.  Namun tentunya ada banyak alasan dibalik keputusan ini dan pastinya tidak harus diberitahukan juga kepada orang –orang yang “nyinyir” tentang hal ini.

Kali ini saya akan berbagi sedikit cerita tentang saya dan seorang sahabat saya, Widya, dalam menyikapi situasi yang kami hadapi, yaitu  menyongsong hari kelahiran anak kami. Kami sama-sama merantau ke Mataram-Lombok, sama-sama menjelang kelahiran buah hati kami, sama-sama sudah punya anak, dan sama-sama tinggal tidak satu atap dengan suami. Kala itu pak suami kami bekerja di perusahaan yang sama dengan rooster yang sama, yaitu off di akhir pekan. Jadi para suami ini pulang ke rumah di akhir pekan, Jumat malam hingga minggu malam. Perbedaan saya dan Widya hanya satu, yaitu saya memutuskan jadi full-time mom, sedangkan Widya kala itu memutuskan menjadi working mom. Dan di trimester ketiga kehamilan, kami harus membuat keputusan tentang kelahiran anak kami nanti. Bagaimana dan di mana?

Memasuki trimester ketiga, setelah berdiskusi dengan dokter tentang kondisi janin yang ada di dalam rahim saya, dan juga menelaah situasi dan kondisi yang kami jalani, saya dan pak suami memutuskan bahwa saya akan pulang ke rumah orang tua saya di Bogor untuk melahirkan anak ketiga kami.

Situasinya berbeda dengan kelahiran anak kedua saya di mana kedua orang tua saya bisa tinggal lama di Mataram, bisa menemani lama dari sebelum hingga setelah lahiran. Namun di kehamilan anak ketiga ini qadarullah mama dan papa (rahimahullah) tidak bisa. Pun begitu dengan mertua. Jadi, saya dan kedua anak saya yang boyongan pulang ke Bogor di detik-detik terakhir diperbolehkannya seorang ibu hamil naik pesawat. Efek dari keputusan ini adalah anak sulung saya yang sudah sekolah TK harus libur sekolah karena ikut emaknya “mengungsi” hampir lima bulan lamanya.  

Oleh karena saat itu tidak memungkinkan bagi pak suami saya untuk cuti, maka kedua orang tua saya menjemput saya dulu ke Mataram kemudian pulang bersama-sama ke Bogor beserta duo bujang kecil saya. Can you imagine, Seorang kakek, nenek, ibu hamil, dan dua balita boyongan dengan naik pesawat beserta beberapa koper besar. Riweuh. Saat itu kedua bujang kecil saya aktif sekali bergerak ke sana ke mari. Hehehe.

Rencana berbeda dibuat oleh sahabat saya menghadapi kelahiran anak keduanya. Dengan kondisi ia adalah seorang ibu yang bekerja di sebuah institusi, jadi sangat tidak memungkin baginya untuk mengambil keputusan seperti saya, pulang ke rumah orang tua.  Mau tidak mau, suka tidak suka lahiran harus tetap di kota Mataram.    

Selain terkendala  urusan kerja, Widya juga dihadapkan dengan keadaan bahwa mama dan ibu mertua  tidak mungkin datang menemani dalam waktu lama di Mataram, baik sebelum ataupun sesudah melahirkan. Sedangkan yang namanya lahiran normal tidak bisa diprediksi kapan kontraksi akan terasa.

Jadi bagaimana dengan kelahiran nanti? Siapa yang akan menemani? Bagaimana dengan si sulung? Fuih…banyak ya bagaimananya.

 Untuk menghadapi keadaan yang “mendesak” ini, Widya dan suami membuat beberapa rencana. Ketika sudah memasuki waktu kelahiran bisa terjadi kapan saja, Widya memberitahukan kepada ART yang bekerja di rumah untuk siap menginap menemani bujang kecilnya di rumah. Biasanya bibik tidak pernah menginap. Setiap hari ia datang di pagi hari dan pulang di sore hari. Alhamdulillah bibik menyanggupi untuk menginap.

Selain ART, Widya juga memberitahukan tetangga-tetangga  di dekat rumahnya. Tetangga rasa keluarga. Begitu Widya menganalogikan para tetangganya ini kepada saya. Well, kata orang tetangga adalah keluarga kita yang paling dekat bukan? Setuju, teman?

Selain kedua hal di atas, Widya juga sudah menyiapkan sebuah tas yang berisi semua perlengkapan keperluan untuk dibawa ke rumah sakit.

Sedangkan mama dan ibu mertua direncanakan datang bergantian setelah lahiran. Jadi pasca melahirkan ada yang menemani di rumah.

Rencana Widya ini kedengaran sedikit nekat bagi saya. Namun kemudian Widya berujar :”Ya intinya harus kuat dan harus siap dengan semua kemungkinan.”. Baiklah. Harus tetap berprasangka baik, insya Allah, Allah Ta’ala akan memudahkan semuanya. Setuju teman?

Dua rencana menghadapi persalinan ini sungguh dua rencana yang sangat bertolak belakang. Di sini tidak ada yang satu lebih baik dari yang lainnya. Di balik keputusan-keputusan ini tentunya sudah dengan pertimbangan-pertimbangan yang matang. Kesiapan mental menghadapi situasi ini sangat dibutuhkan karena keputusan ini sifatnya sangat kondisional.

Ketika kontrol terakhir, 17 Juli 2016, bu dr Arina SpOg, dokter yang saya pilih ketika pulang ke Bogor, memperkirakan bahwa janin dalam rahim saya ini paling cepat lahir satu minggu lagi.

“Jadi dari sekarang suaminya sudah bisa pesen tiket ya, Bu.” Ujar bu Dokter dengan senyumannya yang khas.

Bu dokter Arina ini sedikit kaget ketika saya datang untuk kontrol pertama kali kepada beliau. Saya datang dengan kondisi hamil besar dan tanpa ditemani oleh pak suami. Dan beliau agak “wow” mendengar bahwa pak suami saya sedang bekerja di tengah hutan. Hehehe.

Baiklah, akhirnya tiket dipesan untuk hari Sabtu tanggal 23 Juli 2016. Melihat jadwal kedatangan di tiket, maka pak suami saya akan tiba di Bogor siang hari. Qadarullah, di hari Sabtu pagi saya flek. Hm.. Saya beserta papa (rahimahullah), mama dan juga duo bujang kecil saya ke rumah sakit. Karena tidak ada jadwal praktek dokter kandungan saya di pagi hari itu, akhirnya saya berlabuh di ruang UGD. Cek dan ricek, ups baru pembukaan dua. Dokter di UGD dan juga bidan menyarankan saya untuk langsung masuk kamar bersalin. Karena ketuban tidak pecah, saya dan keluarga memutuskan untuk tidak langsung masuk kamar bersalin. Daripada hanya tiduran di kamar bersalin, lebih baik saya mondar mandir jalan di rumah. Rumah sakit tidak pernah memberikan kenyamanan yang hakiki bukan. Hehe.

Keluar dari rumah sakit menjelang siang, sekalian deh jemput pak suami di pool Damri. Kemudian makan siang dan kembali ke rumah sakit. Papa, mama dan anak-anak saya juga ikut menemani ke rumah sakit. Sore hari hanya tinggal pak suami saja yang menemani saya di kamar bersalin. Papa (rahimahullah), mama dan anak-anak pulang ke rumah.

Perlahan namun pasti, pembukaan itu maju. Dua, tiga, empat, lima dan kemudian stuck dipembukaan enam. Fuih. Setelah diinduksi dua kali akhirnya pembukaan maju hingga sepuluh dan putri kecil kami lahir ke dunia keesokan harinya, 24 Juli 2016.  Disaksikan oleh bapaknya. Qodarullah di dua kelahiran sebelumnya pak suami tidak bisa mendampingi saya di ruang bersalin.

Bagaimana dengan sahabat saya, Widya, yang memutuskan untuk tetap di Mataram? Bagaimana ia menghadapi hari H yang ditunggu oleh setiap ibu hamil?

Akhirnya hari yang di nanti tiba. Kontraksi pertama terasa ketika waktu shubuh. Namun jeda antar kontraksi masih agak lama sekitar 20 menit sekali dan kontraksi masih lemah. Ketika bibik sudah datang di pagi hari,  Widya memberitahukan tentang kontraksinya. Selain itu Widya juga memberitahukan kondisi terkininya kepada tetangga. Tentunya tidak lupa memberitahu pak suami yang masih bertugas di tengah hutan.

 Oleh karena kontraksi yang masih lemah, Widya masih menyempatkan diri untuk datang ke kantor dan memasukkan surat izin cuti melahirkan.

Suami Widya naik boat pagi dari tempat beliau bekerja dan  tiba di rumah sekitar ba’da zuhur. Kontraksi terasa semakin kuat. Akhirnya Widya dan suami memutuskan untuk ke rumah sakit. Tentunya tidak lupa membawa tas perlengkapan untuk melahirkan yang sudah disiapkan sebelumnya. Sedangkan anak pertama mereka dititipkan kepada bibik di rumah. 

Alhamdulillah menjelang magrib anak kedua Widya lahir. Dan yang menjadi sebuah kejutan besar yaitu dua sahabat senasib seperantauan di Mataram, mbak Sri dan Mbak Rita, ikut menunggu di luar ruang bersalin sejak sore hari. Mereka tahu Widya akan melahirkan dari para suami mereka yang juga satu kantor dengan suami  Widya.

Satu yang menjadi pengetahuan penting ibu hamil yaitu menghitung jeda kontraksi itu penting. Dengan mengerti tentang arti kontraksi bisa membuat kita lebih tenang, cepat menguasai keadaan, dan juga menjadi tidak panik.  Jujur, saya walau judulnya adalah emak-emak anak tiga, tapi saya tidak terlalu concern dengan menghitung-hitung  jeda kontraksi ini. Ups! Enggak usah diikutin ya. Hehe

Tidak lama setelah pindah ke ruang rawat inap, duo bujang kecil saya beserta papa (rahimahullah), mama dan juga saudara-saudara lainnya datang ke rumah sakit. Dan keesokan harinya saya diperbolehkan pulang.

Dan bagaimana kepulangan ke Mataram?

Sepengetahuan saya, dokter merekomendasikan boleh membawa bayi berpergian melalui udara ketika berusia tiga bulan. Sedangkan untuk berpergian  lewat darat minimal dua bulan. Ini pun dengan catatan sebelum berangkat kontrol dulu ke dokter spesialis anak ya.

Kepulangan ke Mataram kali ini saya dan pak suami memilih untuk lewat darat dengan berhenti beberapa hari di Yogyakarta dan Batu, Malang. Dan yang paling senang dengan kepulangan ini adalah anak sulung saya yang sudah sangat rindu ingin masuk sekolah lagi. Hehe.

Bagaimana dengan sahabat saya, Widya??

Setelah diperbolehkan untuk pindah ke kamar rawat inap, Widya ditemani oleh mbak Sri dan mbak Rita. Ada adegan disuapin makan segala lho. Haha. Yayaya yang paling dibutuhkan para emak setelah melahirkan adalah makan. Laper. Tenaga terkuras habis ketika di ruang bersalin.  Karena ada yang menemani, suami Widya pamit pulang sebentar ke rumah menjemput si sulung. Dan tentunya tidak lupa mengabari keluarga besar mereka di Padang. Indahnya sebuah persahabatan, bukan??

Sesuai rencana menjelang lahiran, mama Widya datang dari Padang setelah mendapat kabar kelahiran cucu tercinta. Selang dua minggu gantian ibu mertua yang menemani. Alhamdulillah atas izin Allah Ta’ala semua bisa dilewati. Well, tidak ada yang tidak mungkin bukan Bagi Allah Ta’ala. Atas kehendaknya sesuatu yanng tidak mungkin bisa menjadi mungkin.   

 Kisah ini hanya dua kisah perjuangan ibu dalam menghadapi realita kehidupan. Jutaan ibu di luar sana mungkin memiliki perjuangan yang lebih daripada kisah ini. Apapun keadaannya, tetaplah berusaha yang terbaik, tetaplah berdoa dan apapun hasilnya tetaplah berprasangka baik terhadap Allah Ta’ala.

Mataram, 27 Februari 2019

Salam

SuKa dengan artikel ini? Yuk, bagikan!

Viedyana

Emak dari tiga bocah kecil, domisili di Bantul, Yogyakarta. Suka jalan-jalan, icip-icip makanan, dan menulis. Ada yang ingin ditanyakan atau bekerjasama untuk review usaha, produk dan lain-lain silahkan kontak viedyana1983@gmail.com

18 thoughts on “Jelang Kelahiran, Pulang Kampung atau Bertahan di Tanah Rantau???

  1. Menjadi seorang Ibu pasti penuh perjuangan, apalagi kalau anaknya lebih dari satu. Aku jadi diingatkan kembali untuk selalu menghargai dan menghormati ibuku 🙂

  2. Luar biasa memang perjuangan ibu untuk melahirkan. Jadi ingat istri yang sudah mempersiapkan diri untuk persalinan tanpa didampingi suami

  3. Jadi agak repot ya….
    Seperti saya pernah hamil di tanah rantau, akhirnya ibu saya yg pergi ketempat saya untuk menemani, tapi tidak bisa lama. Yang terpenting ibu dan bayi sehat.

  4. Aku juga nih bentar lagi lahiran kak, tapi dilemanya bukan karena masalah mau lahiran di kota mana tapi mau ke bidan atau dokter hehehe

  5. Wah kita seperjuangan ya Mbak, aku juga lagi jhamil 8 bulan sekarang, thank you sharingnya ya

  6. saya salut mbak. belum tentu istri saya bisa kaya mbak. tp alhamdulillah saya dan istri masih bisa satu atap.
    oiah istri saya juga lagi mengandung anak pertama kita. semoga dilancarkan.. aamiin

  7. maaa syaa allah … sayaa baru mau menjalani hidup berumah tangga dan insyallah juga rantaau samaa suami — parno g bisa tidur —iseng2 lihat blog ttg hamil lahiran dirantau —makaish yaaaa mb

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *