Ibu, Jangan Buru-Buru Mengajarkan Anak Membaca

Ibu, Jangan Buru-Buru Mengajarkan Anak Membaca

Assalamualaikum,

Apa kabar para emak? Masih tetap semangat dong ya mendidik buah hati tercinta dengan segala keunikan-keunikannya. Menu motherhood kali ini, saya ingin berbagi sedikit kisah lawas perjuangan belajar membaca untuk si anak bujang saya yang paling besar. Yup betul, mas Adha, the oldest one. Yuk lanjut baca, semoga kisah ini bisa memberi manfaat bagi para emak sekalian.

***

Ini cerita dulu, duluuuu sekali ketika anak sulung saya masih hitungan bulan usianya, saya demen banget yang namanya membaca segala sesuatu tentang perkembangan anak. Tak jarang apa yang saya baca saya coba praktekin ke anak sulung saya. Sok iyeh banget jadi mahmud abas alias mamah muda anak baru satu.

Salah satu yang saya baca yaitu tentang belajar membaca untuk bayi. Tidak tanggung-tanggung, dimulai dari bayi usia enam bulan. Jangan salah baca lho ya. Enam bulan bukan enam tahun. Ups, kalo enam tahun bukan bayi lagi ya, tapi anak. Hehehe

Sederhananya begini: bayi belajar membaca dengan memperlihatkan kartu-kartu secara bertahap. Jangan bayangkan hitungan jam ya, kartu hanya diperlihatkan sekian detik saja. Kartu dibuat dari karton berwarna putih dengan tulisan berwarna merah. Ujung-ujungnya si bayi akan bisa baca. Begitu teori sederhana yang saya baca.

Jangan bayangkan saya membuat kartu-kartu tersebut secara manual. Hari gini apa seh yang enggak dijual? Kartu-kartu itu sudah ada yang jual. Online tentunya. Saya belum pernah nemu juga seh kartu-kartu belajar baca untuk bayi tersebut di baby shop di Bogor. Ya, saat itu saya domisili di Bogor.

Daaaan kartu mendarat di rumah dengan baik, maka dimulailah teknik baca untuk bayi yang sudah saya baca berkali-kali. Saya praktekkin sesuai petunjuk di dalam kotak kartu tersebut.

Waktu awal-awal saya semangat sekali. Eh tapi kok ya anak saya gak tertarik sama kartu-kartu ini ya? Boro-boro mau baca, dilihat aja enggak kartu-kartu itu. Sabar…sabar…

Tapi, lama-lama sabar saya sampe diujungnya.  Entah saya yang enggak sabar, entah anak saya yang emang belum saatnya untuk belajar membaca.

Akhirnya mahmud abas ini menyerah. Ya, dalam hitungan bulan saja saya menyerah meneruskan belajar membaca untuk bayi ini. Cukup sudah!

Kartu-kartu saya simpan kembali ke kotaknya semula, saya simpan rapi di dalam kardus dan untuk sementara bersemayam di dalam gudang. Case closed!

Waktu terus berjalan. Kartu sudah saya lupakan. Tapi kerajinan saya membaca tentang perkembangan anak masih tingkat dewa alias rajin sekali. Apa yang bisa saya praktekkin akan saya praktekkin kepada si sulung ini. Niatnya cuma satu jika ini baik kenapa tidak. Bukan begitu?

Kali ini lain lagi yang saya baca tentang membaca bagi anak. Anak-anak sebaiknya mulai belajar calistung alias membaca, menulis dan berhitung ketika sudah menginjak usia enam tahun. Bahkan TK-TK se-Indonesia mulai dianjurkan untuk tidak lagi mengajarkan calistung. Calistung mulai diajarkan ketika kelas satu SD. Masuk SD pun dianjurkan ketika anak sudah menginjak usia tujuh tahun. Hm…bedanya sampe 180° dengan apa yang pernah saya baca dulu. Olalaaaaa.

Di usia empat tahun lebih si sulung mulai sering bertanya tulisan-tulisan yang sering ia lihat di sepanjang jalan seperti nama-nama toko, tulisan-tulisan di spanduk, nama-nama bank, dan lain-lain. Yang paling sering seh nama-nama bank. Bank BNI, BRI, BCA, Mandiri dan lain-lain. Maaf, bukan maksudnya ngiklan, tapi memang tulisan-tulisan itu yang ditanya anak saya.

Kalo lagi pulang kampung, giliran nama-nama maskapai penerbangan yang ditanya. Sebutlah Garuda, Lion, Citilink. Lagi-lagi ini bukan bermaksud iklan ya. Catet! Lama-lama entah bener-bener bisa baca, entah anak saya hafal logo perusahaan-perusahaan tersebut, setiap melihat tulisan-tulisan tersebut sering kali anak saya berujar seperti ini: “Bunda, itu BNI. Bunda itu bacanya Garuda Indonesia.” Dan masih banyak lagi.

Di usia lima tahun lebih, minat baca anak saya semakin tinggi. Dia mulai mau mengeja per suku kata. Masih yang sederhana. Dan mama saya inisiatif untuk menempel karton yang berisikan suku kata untuk latihan membaca. Melihat karton yang berwarna Adha semangat bertanya ini bacanya apa, itu bacanya apa. Akhirnya dia penasaran sendiri. Kali ini rangsangannya tepat sasaran euy.

Memasuki usia enam tahun saya jadi teringat kembali kartu-kartu duluuuuuu yang pernah saya beli. Oh tapi di mana ya kartu-kartu itu? Secara saya sudah tidak tinggal di Bogor lagi. Saya pindah domisili ketika Adha masih 1,5 tahun.

Lemari kamar belakang, tempat biasanya saya menyimpan barang yang jarang dipakai, saya bongkar. Got ya!

Kartu saya keluarkan kemudian saya tunjukkan kepada Adha. Matanya berbinar melihat karton bewarna putih dengan tulisan berwarna merah. Ia mulai mengeja. Dan lebih surprise-nya lagi sudah banyak ternyata kata yang bisa dia eja.

Dan niat baik yang sudah dimulai dari duluuuuuu sekali itu mulai menampakkan hasilnya. Akhirnya kartu-kartu itu berguna. Jadi tidak ada yang namanya sia-sia. Semua hanya masalah waktunya saja. Kini atau nanti.

Setiap anak memiliki masa yang berbeda untuk belajar. Jangan terburu-buru, Bunda. Sabarlah wahai, Bunda! Saya berujar dalam hati menasehati diri sendiri. Hm..

***

Salam

 

Vidy

Catatan: Tulisan di atas pertama kali dipublikasikan di  Tutur Mama pada tanggal 15 Desember 2016 dengan judul yang sama.

SuKa dengan artikel ini? Yuk, bagikan!

Viedyana

Emak dari tiga bocah kecil, domisili di Bantul, Yogyakarta. Suka jalan-jalan, icip-icip makanan, dan menulis. Ada yang ingin ditanyakan atau bekerjasama untuk review usaha, produk dan lain-lain silahkan kontak viedyana1983@gmail.com

2 thoughts on “Ibu, Jangan Buru-Buru Mengajarkan Anak Membaca

    1. kalo pengalaman anak pertama saya kemarin seh iya, Mbak. Alhamdulillah tanpa les2an, udah makin lancar bacanya sekarang. #sempet keder juga seh pas mau masuk SD kemarin. Beberapa temen anak saya sampe diikutin les baca sama orang tua mereka supaya pas SD dah lancar.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *