Papa dan Beberapa Kenangan yang Terekam Indah Hingga Kini dan Nanti
2018, a year of my big lost. Di tahun ini saya (harus) mengikhlaskan Papa kembali kepada Sang Pemilik, Allah Ta’ala. Insya allah ini yang terbaik. Seperti ucapan bujang kecil saya kala itu, tepat sebelum wajah papa ditutup untuk selamanya, insya allah nanti bertemu inyik lagi di surga. Inyik adalah panggilan untuk kakek dalam bahasa minang.
Adha, anak saya yang paling besar sangat dekat dengan inyiknya. Maklum cucu pertama dan laki-laki pula. Papa sangat ingin memiliki anak laki-laki, qadarullah saya bersaudara berempat perempuan semua. Dan ketika saya melahirkan seorang anak laki-laki, ini bagaikan sebuah doa yang diijabah Allah Ta’ala. Gak dapet anak, cucu pun jadi. Begitu kata orang-orang. Jadilah sedari kecil anak saya yang paling besar ini sangat dekat dengan inyiknya. Mereka sering sekali menghabiskan waktu bermain bersama.
Ya, Adha sangat dekat dengan inyiknya. Jika sudah ada inyik, ke mana-mana maunya sama inyik. Mandi, makan, main, pakai baju bahkan berangkat ke mesjid untuk sholat juga bareng inyik. Bapaknya dilewat, yang terkadang membuat papa menjadi tidak enak sendiri dengan menantunya. Padahal sang menantu enggak masalah dengan semua itu. Hehe.
Lombok sangat terkenal dengan pantainya nan cantik. Jadi setiap kali papa mengunjungi kami di Mataram, maka tidak pernah kelewat yang namanya wisata pantai. Tapi kadang ke sungai, air terjun dan kaki gunung juga sih.
Jika sedang mantai satu hal yang tidak akan terlewat oleh papa dan Adha, yaitu membuat benteng dari pasir dan mengumpulkan kerang-kerang yang terdampar di tepi pantai. Pun begitu jika main ke sungai. Kegiatan membuat benteng dan juga mengumpulkan batu-batu sungai yang bentuknya unik-unik kerap dilakukan. Pulang-pulang menenteng keresek atau botol berisikan batu dan kerang.
Bukittinggi, kota di mana papa lahir dan dibesarkan, terletak di dataran tinggi yang dikelilingi gunung dan bukit. Jadi sudah bisa dipastikan tidak ada pantai di sana. Tapi tidak untuk sungai. Sungai banyak sekali mengalir di Bukittinggi. Sekali waktu ketika kami sedang wisata sungai di daerah Suranadi, Lombok, terjadilah sebuah percakapan yang kira-kira seperti ini.
Adha: “Inyik, air sungainya segerkan. Bersih. Bagus.”
Papa: “Di kampung Inyik lebih bagus. Nanti kita mandi-mandi di Ngarai Sianok.”
Adha: “Kapan kita ke kampung Inyik?”
Papa: “Insya allah nanti ya. Ajak Bapak pulang kampung.”
Adha: “Udah saya bilang. Nanti kalau ada rezeki kata Bapak.”
Papa: “Ya, sabar ya.”
Jadilah kakek dan cucunya ini memiliki impian yang sama, yaitu mandi-mandi di aliran sungai batang Sianok. Setiap kali Papa atau Mama saya ada keperluan pulang ke Bukittinggi, Adha sering kali minta ikut. Tapi tentu saja izin dari bapaknya enggak pernah keluar.
Akhir 2017, suami saya keukeuh untuk melaksanakan niat kami yang tertunda hingga hampir tujuh tahun, yaitu pulang kampung ke tanah kelahiran orang tua saya, Bukittinggi, dan juga ke tanah kelahiran bapak mertua saya, Palembang.
Papa yang mendengar saya beserta menantu dan cucunya pulang ke Bukttinggi, juga bergegas untuk pulang ke Bukittinggi. Keukeuh udah pengen di Bukittinggi sebelum saya tiba di sana. Sejak vonis dokter, saya dan keluarga besar sedikit protektif dengan kelincahan papa yang senang pergi sana pergi sini sendirian. Namun semangatnya menggebu. Jadilah papa menunggu kami di rumah nenek saya di Bukittinggi.
Impian yang menjadi nyata di hari itu. Di aliran sungai batang Sianok, yang tidak jauh dari Tabiang Takuruang, impian seorang kakek yang ingin mengajak cucunya untuk melihat keindahan kampung halamannya, turut menyelami masa kecilnya, bermain air dan membuat benteng dari pasir sungai. Allah Maha Baik, Allah Maha Tahu waktu yang terbaik. Mengabulkan sebuah impian walau hanya sekali dan tak akan pernah terulang kembali. Betapa senangnya kala itu melihat wajah papa yang sumringah. Saat itu saya sangat bersyukur kepada Allah Ta’ala atas kekeukeuhan suami saya untuk tetep touring. Silahkan lihat peta berapa jauh perjalanan yang kami tempuh.
Lagi-lagi tentang papa di balik layar yang membuat perjalanan hidup saya menjadi lebih berwarna. Saya akhirnya menyerah juga untuk berhenti bekerja dan mengikuti suami ke kota dimana beliau bekerja. Papa yang selalu menyemangati saya untuk berani pindah di sela-sela obrolan kami. Padahal kala itu suami saya tidak terlalu mempermasalahkan beda kota dalam menjalani kehidupan berumah tangga. Malah papa saya yang lebih keukeuh supaya saya selalu ikut kemana suami bekerja.
Masih karena papa untuk sebuah keputusan besar di kala beranjak remaja menuju dewasa. Saya banting stir kuliah ke jurusan yang mana pelajaran ini sangat saya hindari ketika SMA. Bela-belain masuk jurusan IPA, supaya enggak ketemu lagi sama yang namanya mata pelajaran akuntansi. Di tahun 2002 saya mulai kuliah akuntansi. Meninggalkan kuliah sastra saya begitu saja. Here we go, bergelut dengan debit kredit, jurnal, cost accounting, dan lain-lainnya. Alhamdulillah akhirnya lulus juga. Hahaha.
Pun begitu ketika mengambil keputusan untuk menikah. Peran papa juga sangat besar di sana. Nasehatnya menguatkan saya untuk terus melangkah. Padahal waktu itu pak suami yang masih berstatus calon suami udah pasrah akan menerima dengan besar hati jika saya berkata tidak akan melanjutkan lagi hubungan yang sudah setengah jalan menuju jenjang pernikahan itu. Lagi-lagi big decision.
Yang sangat saya sukai dan kini saya merasa sangat kehilangan ini adalah cara papa menasehati saya sebelum keputusan-keputusan besar itu saya ambil. Di tengah kesetujuan dan ketidaksetujuannya atas apa yang sedang saya jalani, papa bisa merangkai kata yang straight to the point tanpa memaksa saya harus langsung mengambil keputusan saat itu juga yang sesuai dengan keinginannya. Biasanya selalu ada rangkaian kata ini diakhir nasehatnya:”coba dipikirkan lagi.”. Ngomongnya santai. Enggak ada wajah marah, ataupun sedih. Plong aja gitu. Jadi saya menerima nasehat itu plong juga.
Hal lain yang kini juga sangat terasa hilang dalan hidup saya adalah hari-hari yang dilalui bersama dengan ide-ide unik papa saya jika ada suatu masalah. Papa, salah seorang pemberi solusi yang handal bagi saya.
Pernah sekali waktu, duluuuu waktu saya baru pindah ke Mataram, Lombok. Mama yang sudah pulang ke Bogor digantiin papa. Sekalian papa melepas kangen dengan Adha. Orang tua saya tidak tega meninggalkan adik bungsu saya yang masih SMA kala itu seorang diri di rumah Bogor. Jadi setiap berpergian selalu salah satu stand by di rumah.
Entah bagaimana ceritanya waktu itu, pintu lemari dapur yang baru dibeli udah rusak aja engselnya. Bete banget. Mulailah saya membujuk suami buat ganti lemari tersebut. Papa yang melihat saya membujuk-bujuk menantunya malah kurang setuju beli lemari baru lagi. Sayang uangnya. Mulailah papa dengan kekreatifan tangannya memperbaiki engsel pintu lemari. Hahaaaay, gak jadi rusak pintu lemari itu. Dan pak suami saya jadi sumringah ketika pulang ke rumah lagi melihat lemari sudah dalam kondisi “fit”. Dan masih saya ingat kala itu pak suami mengucapkan terima kasih kepada papa. Kayaknya ada rasa seneng juga uangnya gak jadi keluar buat beli lemari baru. Hahaha.
Pernah juga kekreatifan tangan papa membuat saya tidak jadi membeli jemuran baju dan handuk yang baru. Ada saja ide kreatif papa. Dan kini sekali lagi kaki jemuran handuk saya patah. Still thinking how to fix it so I don’t have to buy the new one.
Sering kali rindu itu datang menyapa. Walau raga tak lagi bersama, namun kenangan-kenangan itu masih tetap di sana. Di hati dan di kepala. Tersusun rapi dan runut. Banyak. Banyak sekali yang tersimpan. Rasanya tidak akan cukup halaman ini jika harus dituliskan satu persatu. Papa, you will always be missed.
Mataram, 8 Januari 2019
Inalillahi Wainalilahi Rojiun. Turut berduka cita atas kehilangan besar ini, dunsanak Viedyana. Insya Allah papanya mendapat tempat mulia di sisi, Allah.
Aamiin. Makasih mbak evi
Terharu baca tulisan mbak. Semoga mbak tabah ya.
Insya allah. Makasih ya mbak udah ikutan baca. Salam kenal.