Bandung Trip 2021: Kenangan Lama dan Pagi yang Cerah di Dago
Bandung selalu menjadi salah satu tempat untuk pulang, menghabiskan waktu, merekatkan kembali serpihan kenangan yang telah dimulai belasan tahun nan lalu. Rasanya tidak pernah kata bosan terucap jika diajak “pulang” ke kota kembang ini. Bawaannya selalu happy ketika ada yang ngajak hayuk ke Bandung.
Dago. Yang satu ini sangatlah tidak asing bagi yang sering mengunjungi Bandung. Termasuk bagi saya tentunya. Belasan tahun yang lalu, empat tahun lebih lamanya wara wiri di sekitaran Dago. Walaupun kampus saya terletak Ciwaruga, tapi Dago menjadi pilihan saya untuk ngekost. Silahkan kalau mau komentar jauh amat tempat kuliah sama kosan. Haha.
“Pulang” ke Dago kali ini saya tidak sendiri, dan tidak juga berdua pak suami saja. Tapi, kami kini berlima, dengan tiga krucil yang masih setia mengikuti ke mana kaki emak mereka melangkah.
Pagi itu, anak-anak mengikuti langkah saya dan pak suami keluar dari hotel tempat kami menginap, di salah satu hotel yang terletak di “the heart” of Dago. Berjalan menyusuri trotoar di bawah pohon-pohon tinggi. Menghirup udara Bandung nan segar.
Menyebrangi jalan Siliwangi, kemudian menyusuri jalan Tamansari, petugas kebersihan kota Bandung yang sedang menyapu jalan tersenyum malu-malu menyapa saya dan keluarga.
Anak-anak berceloteh melihat sekitar mereka. Dari celah-celah pohon, terlihat samar warna biru Ya, itulah kolam renang Sabuga.
“Dulu, waktu kuliah Bapak berenangnya di sana,” jawab pak suami kepada anak-anaknya yang bertanya apa itu di balik-balik pohon tinggi di depan mata mereka.
Oh, mendengar kata berenang, anak-anak semakin riang gembira. “Ayo, Pak. Kita renang di sana.” Fuih! Tentu saja permintaan ini rejected by pak suami.
“Bunda, Adha suka Dago. Kita pindah tinggal di sini aja yuk!” ajak anak sulung saya dengan santai.
What!!! Rasanya pengen jitak kepala bocah yang berpikir pindah domisili dengan mudahnya. Tentu saja ada harga yang harus dibayar untuk sebuah kepindahan. Not that easy. Uuuuuhhhh. Eh tapi, pindah tinggal di Dago? Hm…saya mah mau banget. Tapi kudu cari puun uang dulu sing akeh biar bisa beli rumah di Dago yang harganya mahal ampun-ampunan. Mengkhayal dulu aja deh, suatu saat punya rumah sebiji di Dago, Bandung yes! ‐Yang baca jangan lupa aminkan. Hehehe.
Lain bocah, lain saya juga tentunya. Jika tiga krucil penasaran dengan warna biru di balik pohon, mata saya tertumbuk ke dalam hutan Babakan Siliwangi yang ada di sisi kanan kami. Terlihat ada jembatan dari kayu meliuk-liuk di tengah hutan. Entahlah itu ada sejak kapan. Tapi angan saya langsung mengembara , membayangkan berjalan di sana seraya menikmati indahnya pohon tinggi yang rapat dengan semak belukarnya. Ahh pasti sangat menyenangkan. Salah satu jagoan saya bertanya apakah bisa masuk ke dalam hutan. Di dalam hati hanya bisa berkata:”Someday ya, Nak. Kita kelilingi hutan Babakan Siliwangi ini.”
Permintaan anak bujang, tentu di skip oleh pak suami. Tidak banyak waktu untuk berkeliling. Dan entahlah buka untuk umum atau tidak di tengah pandemi ini.
Perjalanan terhenti sebentar di gerbang belakang kampus pak suami. Bocah pun sibuk bertanya tentang masa kuliah dulu. Sambil menatap jauh ke dalam kampus, pak suami menjawab pertanyaan anak-anaknya. Sedangkan emak, sibuk memotret. Enggan untuk kehilangan momen. Hehehe. Ah iya, pedestrian yang kami lalu menuju jalan Juanda Dago, belasan tahun yang lalu adalah deretan warung makan yang menurut cerita pak suami harganya murah meriah dengan porsi khas mahasiswa, banyak.
“Sekarang warung makannya mana Pak?”
“Mungkin dipindah ke tempat lain.”
Para krucil pun mengangguk-angguk.
Menyusuri jalan utama Dago ke arah Simpang, salah satu bujang kecil saya semringah begitu melihat salah satu resto cepat saja yang sepertinya telah menjadi ikon simpang Dago.
“Bunda, itu kan tempat makan yang kita datengin tadi malem tapi udah tutup ya?”
Dengan cepat saya menjawab pertanyaannya.
“Ooo kita udah deket hotel lagi ya, Bunda.” Wajahnya semringah.
Saya tergelak. “Hooh, kenapa?”
“Laper.”
Dua krucil lainnya pun mengeluh lapar. Oh baiklah, kita kembali ke hotel. Sarapan pagi.
Dengan lahap ketiga krucil saya sarapan pagi. Tampaknya jalan pagi membuat cacing-cacing di perut mereka meronta.
Waktu menunjukkan pukul setengah delapan lebih. Pak suami tidak terlihat gelagat ingin beranjak dari ruang makan hotel. Sepertinya malah betah , ingin duduk santai. Saya pamit ke luar hotel. Ingin melipir sebentar ke rumah yang menjadi tempat saya berteduh belasan tahun yang lalu. Hanya tinggal jalan kaki dari hotel. Rasa lapar yang sudah berganti dengan rasa kenyang, membuat ketiga anak-anak saya ikut berdiri. “Ikut ya, Bunda.”
Pagi itu, saya dan tiga krucil menyusuri jalan Sangkuriang. Di pertigaan kantor kecamatan belok ke arah Cisitu Baru. Waaaw, belasan tahun berlalu, rumah itu masih sama. Tidak ada yang berubah. Rumah putih sederhana yang penuh dengan kenangan. Tiga krucil kembali sibuk bertanya rumah siapa yang kami datangi? Siapa yang dicari? Kepo setiap saat. Hehe.
Sepi. Lampu luar pun masih menyala. Namun dari jalan luar terlihat baju yang digantung di lantai atas, membuat saya yakin bahwa rumah kosan itu tidaklah kosong.
Satu tanya menggantung di benak saya. Masihkah mbak Edah, mbak yang dulu membantu mencuci baju dan juga membersihkan rumah masih bekerja di rumah ini?
Rasa penasaran membuat saya nekat untuk mengetuk pintu rumah. Momen yang jarang juga bisa mampir ke rumah ini jika sedang di Bandung.
Seorang mbak-mbak muda membukakan pintu. Yes, she looked young. Betapa terkejutnya saya ketika mbak tersebut berkata bahwa mbak Edah masih bekerja di rumah ini. Hanya saja datangnya nanti
Hm…sedikit lebih siang dibanding zaman saya masih ngekos dulu. Ya, dulu. Belasan tahun yang lalu.
Tidak patah semangat. Saya kembali lagi ke rumah putih itu 1,5 jam kemudian. Kali ini sendiri. Tiga krucil yang sudah tidak penasaran lagi menolak ajakan saya untuk ikut lagi. Padahal di dalam hati emak ngarep banget ditemenin lagi.
Masih sama. Sepi. Saya kembali mengetuk pintu. Sekali lagi, masih mbak yang sama yang membukakan pintu. Kami pun sama-sama terkejut.
Namun sayang, pagi itu mbak Edah tidak masuk kerja. Akhirnya saya hanya titip salam dan bertanya nomor kontak mbak Edah yang bisa saya hubungi. Karena titip salam, tidak lupa dong saya memberitahu nama saya. Saya juga bertanya nama mbak yang sudah bersedia membukakan pintu dua kali. Namanya Elsi (kalau mbak Elsi baca, sekali lagi saya ucapkan terima kasih ya , Mbak). Dan dari wajah mbak Elsi yang terperangah, saya bisa tebak dia terkejut ketika mendengar tahun berapa saya juga ngekos di rumah putih ini. Hahaha.
Berjalan santai kembali ke hotel. Sekali lagi diserbu pertanyaan bocah. Usai sudah merakit kembali kenangan itu. Kembali ke asal. Mengepak barang dan bersiap untuk pulang ke rumah kami di Yogya. Sebelum meninggalkan Bandung, pit stop dulu di restoran cepat saji pojokan yang masih saja eksis meski belasan tahun telah terlewati, MC D. Makan siang fast food. Tidak lupa menerapkan prokes new normal. Tunjukkan bahwa kamu sudah vaksin, kemudian check-in di aplikasi PeduiLindungi yang pastinya sudah diinstal di smartphone kalian masing-masing bukan. Cuci tangan dan tidak lupa jaga jarak.
Bantul, 17 November 2021