Curhat Mamah yang Memilih Meninggalkan Karir dan Jadi Ibu Rumah Tangga
Assalamualaikum,
Apa kabar teman? Semoga semua baik-baik saja. Kali ini saya ingin berbagi sebuah tulisan lama namun tema tulisan ini masih tetap hangat hingga kini. Tak lekang oleh waktu. Hm…Apa ya? Yuk lanjut baca!
Bagi sebagian ibu-ibu yang bekerja kantoran apalagi yang karirnya oke, enggak mentok di jajaran staff yang berderet, keputusan untuk resign bekerja bukanlah hal yang mudah. Banyak banget pertimbangannya.
Ada saja alasan untuk tetap bekerja, seperti kalo bekerja ia merasa suaminya akan lebih menghargainya, kalau ia bekerja ia merasa lebih berguna di masyarakat, kalau suami kenapa-kenapa masih ada penghasilan setiap bulannya, ada juga yang mendapatkan kepuasan batin jika bekerja. Selain itu pernah juga saya mendengar alasan bekerja itu supaya bisa membeli keperluan sendiri tanpa harus menadahkan tangan dulu ke suami.
Duh, alasan yang terakhir ini kok seolah-olah ibu rumah tangga yang tidak berpenghasilan secara materi itu tidak ubahnya seorang pengemis. Teganya…teganya…teganya.
Tapi banyak juga lho yang akhirnya memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga.
Eits, tapi tunggu dulu, beberapa bulan atau bahkan tahunan setelah berhenti bekerja, tidak satu dua orang ibu yang kemudian merasa kurang berguna, merasa kurang mandiri, merasa kurang merdeka, dan agak-agak gimanaaaa gitu rasanya ketika ingin sesuatu harus minta dulu sama suami.
Gengsi lah yaw! Begitu katanya. Padahal ya dinafkahi itu adalah hak istri dan menafkahi itu adalah kewajiban suami. Catet! Tidak jauh-jauh dari hak dan kewajiban.
Ibu rumah tangga, sebuah pekerjaan yang terlihat sederhana dari luar, namun sungguh saya berani katakan bahwa menjadi ibu rumah tangga bukanlah sebuah pekerjaan sederhana. Banyak sekali tantangan menjadi seorang ibu rumah tangga sejati, sang pemenang kehidupan.
Menjadi ibu rumah tangga apalagi yang enggak pake asisten rumah tangga, tentunya jadi akrab sama yang namanya sapu, penggorengan, kompor, alat pel, dan juga benda-benda rumah tangga lainnya.
Seorang ibu rumah tangga walau hanya di rumah juga dituntut untuk terus belajar karena ia adalah sekolah pertama bagi putra putrinya. Seorang ibu rumah tangga juga dituntut untuk menjadi seorang akunting yang handal supaya keuangan keluarga aman terkendali. Seorang ibu rumah tangga juga harus memperhatikan setiap suapan yang masuk ke dalam mulut anak-anaknya. Bergizi atau tidak.
Masih banyak yang lainnya. Dan semua itu dihadapi setiap hari di depan matanya. Tentu beda dong melihat langsung dengan tidak melihat langsung. Selain itu juga, ada lagi tantangan dari luar rumah, seperti harus tahan kuping, enggak boleh baper denger stigma kurang enak tentang seorang ibu rumah tangga.
Pernah sekali waktu, dulu waktu saya baru hitungan bulan berhenti kerja kantoran, seorang teman lama bertanya kepada saya kenapa mau berhenti bekerja.
Saat itu jawaban saya sederhana saja: anak.
Sekarang saya pindah ke daerah tempat suami bekerja, dan jika saya juga bekerja di kota ini maka anak saya gak ada yang jaga. Saya dan suami belum bisa percaya sepenuhnya kepada asisten rumah tangga. Sebelum pindah kota saya masih tinggal bersama dengan orang tua saya. Jadi ketika saya kerja, anak dititipkan kepada orang tua saya.
Pertanyaannya pun berlanjut: bagaimana dengan urusan finansial? Apakah ada perubahan? Hohohoho tentu saja ada yang berubah. Bohong jika saya jawab tidak ada yang berubah. Di awal-awal menjadi ibu rumah tangga tentu saja pendapatan per bulannya berkurang. Ada sedikit kegamangan juga. Tapi dengan berjalannya waktu semua bisa diatasi. Ada saja cara Allah Azza wa Jalla untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga yang trennnya naik setiap tahun. Gak usah takut, luruskan niat, bulatkan tekad. Demi keluarga tercinta, Allah Ta’ala akan mencukupi. Begitu mottonya.
Bagaimana dengan urusan gaya hidup? Apakah ada perubahan? Yang ini juga dong.
Pendapatan per bulan berkurang, maka di awal-awal tentunya ada pengeluaran yang harus disiasati. Kalo enggak begitu, bisa-bisa lebih besar pasak daripada tiang. Pengeluaran lebih besar daripada pemasukan.
Maka dari itu kudu pinter-pinter mengatur uang. Harus lebih cermat dalam membuat prioritas belanja rumah tangga. Yang enggak terlalu urgent bisa diskip dulu. Harus berani dan bisa berkata tidak kepada diri sendiri untuk belanja yang kategorinya tersier alias belanja yang enggak penting-penting amat. Yang hobinya shopping, yaaa budgetnya disesuaikan dengan uang yang tersedia. Hehe. Saya bersyukur untuk sifat cuek yang saya miliki. Saya enggak rusuh liat orang yang gaya hidupnya lebih dari pada saya.
So, kehadiran anak bisa dikatakan sebagai salah satu alasan yang bisa membuat seorang wanita, istri, ibu menjadi berubah haluan dari working mom menjadi full-time mom. Karena anak adalah anugrah dari yang Maha Kuasa, tentunya mau dong memberikan yang terbaik untuk anak.
—–
Sore itu perlahan matahari turun ke peraduannya. Saya asyik mengobrol di tepi pantai hotel Living Asia Lombok dengan seorang mama yang jarak usianya jauh dari saya. Anak beliau yang paling kecil sekarang sudah duduk di sekolah menengah atas kelas X. Sedangkan saya, anak saya yang paling besar saja masih umur enam tahun. Jangan tanya yang paling kecil ya. Masih bayi.
Baca juga: Telur Mata Sapi dan Capernya Si Kecil
Posisi saya sama dengan Mama yang satu ini yaitu seorang ibu rumah tangga. Bahasa kerennya seh full-time mom atau yang biasa disingkat FTM. Cuma bedanya, beliau anaknya udah besar-besar, kalo saya tiga krucil rempong selalu ikutin emaknya kemana-mana. Nempel kayak perangko.
Walau usia terpaut jauh, tapi obrolan kami nyambung lho. Obrolan kami obrolan khas emak-emak sekali. Tentang rumah tangga, tentang pengasuhan anak, tentang pendidikan anak, tentang masakan hingga tentang agama pun kami bahas. Pokoknya tentang keseharian emak-emak dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Eits tapi tidak lupa di sela-sela obrolan mata ini tetap memperhatikan duo anak bujang kecil yang kesenengan main air dan pasir di tepi pantai dengan duo bujang besar, siapa lagi jika bukan anaknya Mama yang sedang mengobrol dengan saya.
Duluuuu sekali, lebih dari satu dekade yang lalu, ketika saya mulai kuliah dan kemudian bekerja, sempat terlintas dalam pikiran saya kenapa Mama yang satu ini berhenti bekerja kantoran. Ia memilih untuk mengerahkan seluruh kemampuannya untuk mengurus tiga jagoannya. Ya, tiga orang anak laki-laki yang jarak usianya dekat-dekat.
Dengan gelar sarjana teknik dari salah satu institut terbaik negeri ini, tidak satu dua orang yang rusuh dalam tanda kutip dengan keputusannya untuk sibuk di rumah termasuk saya. Tapi saya hanya mampu berkata-kata dalam hati dan pikiran saja saat itu. Bahkan hingga obrolan ini dimulai. Mulut ini tak mampu untuk berucap. Terkunci rapat! Selalu ragu-ragu jika ingin bertanya yang satu ini.
Oh ya, katanya seh sampe sekarang masih ada juga yang kasak kusuk denger jawaban ibu rumah tangga jika ditanya kerja di mana. Never ending story deh!
Obrolan mengalir hingga keputusan untuk menjadi seorang ibu rumah tangga. Akhirnya sampai juga ke topik yang satu ini. Pertanyaan saya lebih dari satu dekade silam terjawab sudah. Tanpa saya harus bertanya terlebih dahulu. Xixi.
Sebuah pertanyaan klasik tapi masih tetep eksis hingga detik ini. Kenapa sang mama ini mau melepas karirnya? Ternyata oh ternyata jawabannya sederhana sekali. Beliau hanya ingin memberikan hak anak-anaknya dan menunaikan kewajibannya sebagai seorang ibu. Baik atau buruk nanti di kemudian hari, maka itu adalah takdir dari Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk anak-anaknya.
Insya allah ia tidak akan menyesal, karena yang terbaik sudah ia berikan. Hingga detik ini sedikit pun beliau tidak menyesal dengan keputusannya. Waktu yang sudah dilalui bersama-sama dengan anak-anaknya tidak akan sebanding dengan apapun.
Baca juga: Kasih Ibu Sepanjang Masa
Makjleb banget saya mendengar deretan kata-kata ini. Hak dan kewajiban. Dua kata ini menjadi kunci perubahan. Menjadi kunci sebuah transformasi kehidupan. Kalimat sederhana yang maknanya tidak sederhana.
Sambil menimang-nimang anak saya yang masih bayi, kepala ini mangut-mangut sambil ber-ooo ria mendengarkan cerita. Ah, jujur tidak pernah terpikirkan sebelumnya inilah alasan dari sebuah keputusan besar dulu kala.
Matahari mulai sempurna hilang dari pandangan mata, seolah-olah tenggelam ke dalam lautan. Satu per satu wisatawan yang sedari tadi asyik berselancar sudah kembali ke daratan.
Begitu juga dengan rombongan saya, kami beranjak dari tepi pantai dan pindah ke restoran menikmati secangkir teh hangat dan juga makanan kecil. Sambil menyeruput teh sedikit demi sedikit, pikiran ini masih terngiang-ngiang dengan deretan kata: “Memberikan hak dan menunaikan kewajiban”. Itu saja.
***
Semoga bermanfaat!
Salam
Vidy
Catatan: Tulisan ini sudah pernah diterbitkan di website Tutur Mama dengan judul yang sama pada tanggal 16 Januari 2017. Tertarik untuk membaca pada tayangan pertama. Silahkan klik link di bawah ini ya.
Baca: Curhat Mamah yang Memilih Meninggalkan Karir dan Jadi Ibu Rumah Tangga
Setuju mba, saya bukan tipe org yg pandai atur waktunya… Takutnya kalau kerja jg, anak ga keperhatiin
Nah itu dia, Mbak. Salah satu concern saya saat ini juga perhatian buat bocah-bocah.
Saya pribadi salut buat para ibu yang berhenti kerja buat full ngurus anaknya. Saya dulu juga cita-citanya pengen jadi ibu rumah tangga aja. Tapi untuk sekarang kayaknya memilih jadi working mom dulu
Semangat, Mbak. Didoain insya allah cita-citanya diijabah Allah Ta’ala. Keep on praying. Saya juga salut sama para working, Mom. Salah seorang teman saya yang juga memutuskan untuk bekerja kantoran pernah bilang gini:”Well, ibu-ibu kantoran walau raga ada di kantor, namun pikiran tetap aja ke anak di rumah.”
Saya juga 2 bulan terakhir resign dari pekerjaan dan menjadi ibu rumah tangga. Alhamdulillah mbak, ternyata rezeki tetap lancar. Padahal itu dulunya adalah sesuatu yang paling saya pusingkan waktu masih masa pertimbangan :’)
Alhamdulillah. Tetap semangat ya.
Kalau saya pribadi lebih baik dikomunikasikan dengan suami, Mbak. Daripada memendam sendiri. Nanti tinggal ikut keputusan suami deh. Apapun itu, insya allah yang terbaik. Semangat
Saat ini saya jg sedang galau dg masalah yg sama, saya ingin resign dari pekerjaan, tp apa suami dan org tua setuju? Msh blm berani mengutarakan, stiap hari saya merasa brsalah krn harus nitipin anak ke keluarga suami atau ibu saya. Saya tidak ingin melewatkan masa kanak2 mereka, dan ada kalanya si kecil melarang saya bekerja, agar saya dirumah saja bersama mereka, duh perih hati ini rasanya ??