Ketika Si Tengah Selalu Merasa Kurang

Bismillah.
Assalamualaikum. Enam tahun sudah saya jalani hidup ini tidak lagi berstatus sebagai pegawai kantoran. Meninggalkan hiruk pikuk kehidupan ibukota Jakarta, kemudian pindah ke ibu kota propinsi, Mataram, di sebuah pulau nan terkenal dengan pantai-pantainya yang cantik dan alami, yaitu Lombok, NTB. Saya lebih banyak menghabiskan waktu di rumah untuk mengurus segala keperluan domestik rumah tangga, mulai dari kepeluan yang besar hingga yang remeh temeh.
Alhamdulillah bulan Juli kemarin saya genap dua tahun menyandang predikat sebagai emak-emak rempong di rumah dengan jumlah anak tiga, dua laki-laki dan satu perempuan. Dan jarak usia mereka tidak terpaut jauh. Jarak anak pertama ke anak kedua saya dua tahun delapan bulan saja, sedangkan jarak anak kedua kepada anak ketiga saya pas tiga tahun dengan selisih hari kelahiran satu hari. Bisa dibayangkan bukan mereka sedang berada di usia sangat aktif dengan pergerakan sana sini. Lari sana lari sini dengan stok tenaga yang banyak. Jangan bayangkan keadaan rumah saya, lebih sering kapal pecah dengan mainan di mana-mana. Fuih!
Perlahan namun pasti, sebuah perubahan mencolok semakin nyata saya rasakan dengan tingkah laku duo bujang kecil saya sejak kelahiran adik perempuan mereka. Perubahan yang sangat terasa terutama pada anak saya yang nomor dua. Anak tengah yang menggemaskan. Begitu ceriwis, dan murah senyum. Sangat berbeda dengan masnya yang cenderung cool, kalem kayak emaknya. #Gak boleh protes. Iyakan saja :-p
Beberapa kali saya mengeluh kepada suami tentang anak kami yang nomor dua. Keluhan yang saya utarakan juga dirasakan oleh suami saya. Kecemburuan anak saya yang nomor dua begitu besar kepada adik dan kakaknya. Perhatian demi perhatian yang saya dan suami berikan dirasa masih belum cukup olehnya. Terasa masih kurang banyak. Ini versi dia lho ya, bukan versi saya. Nasehat pak suami seh sederhana banget. “Sing sabar. Yang penting enggak patah semangat untuk terus mendidik.”
Tidak satu kali atau dua kali saya mendengar anak kedua saya ini protes dengan lantang kepada saya. Yeah, ia cenderung menjadi anak yang speak up dengan keinginan dan keluhannya. Kalimat-kalimat Bunda urus Nad, adiknya, terus, bunda pegang hape terus, bunda masak terus, bunda enggak urus anaknya. Kalimat ini meluncur mulus bagaikan peluru pistol yang ditembakkan berentetan tepat sasaran mengena hingga relung hati saya. Kalimat-k alimat protes ini sering kali membuat saya sukses terdiam, terpaku dan menelan ludah. Yang membuat saya lebih speechless lagi yaitu saat-saat saya berdiskusi dengan suami, bapaknya. Ini juga menjadi sasaran empuk salah satu penyebab kurangnya perhatian yang saya berikan untuknya. Fuih!
Namun ia juga seorang solution minded untuk setiap kendala yang ia hadapi. Lebih tepatnya solusi untuk dirinya. Ia pinter cari cara selamat untuk tetap mencapai tujuan dan keinginannya. Papa saya rahimahullah semasa hidupnya sering kali berujar: “Oi Yuang, yo santiang cari salamaik yo.” Kira-kira artinya begini: ”Oi Nak, pinter ya cari selamat.”
Baca juga: Pencerahan Bagi Para Mahmud Abas-Mamah Muda Anak Baru Satu
Salah satu kejadian yang sering kali menjadi masalahnya bagi dirinya yaitu ketika ia merasa saya sudah terlalu lama mengurus adiknya. Terlalu lama fokus kepada adiknya. Entah menggendong adiknya, menyusui adiknya, memandikan adiknya, dan lain-lain. Tidak sekali dua kali ia menyarankan saya untuk menarok dulu adiknya, atau memberikan adiknya kepada bapak atau ART yang membantu saya di rumah. Kemudian ia bebas bermanja-manja dengan saya berdua saja. Makan, mandi, pakai baju, dan lain-lain.
Well, mendengar semua pernyataan-pernyataan itu membuat saya menarik nafas panjang, istigfar, mengelus dada sambil berucap sing sabar.
Eh tapi, sebagai seorang ibu sedih enggak seh mendengar kalimat protes tersebut? Jujur, saya sedih, Sedih sekali. Terkadang rasanya ingin badan ini dibagi empat saja, mengurus bapaknya anak-anak, mengurus si sulung, mengurus si tengah dan juga si bontot. Mengkhayal tingkat tinggi untuk yang satu ini. Mission impossible. Hahaha.
Hampir tiap malam saya merenung mencari solusi permasalahan “kurang perhatian” ini. Ada beberapa pemecahan masalah yang sudah saya lakukan, seperti:
- Berusaha menciptakan kegiatan dilakukan bersama-sama dengan kakak atau adiknya atau jika situasi lebih memungkinkan melakukan kegiatan berbarengan dengan kakak dan adeknya. Terkadang jika sedang menyusui adiknya saya minta ia untuk berbaring di sisi lainnya. Jadilah saya menyusui adiknya sambil tangan elus-elus kepala anak saya yang nomor dua. Terkadang cara ini berhasil. Terkadang gatot. Hehe.
- Setiap hendak melakukan sesuatu saya berusaha untuk membiasakan diri bertanya lebih dahulu kepada anak-anak. Seperti “Ayo siapa yang mandi duluan?”. Hanya saja ini terkadang menimbulkan konflik baru , yaitu ketika ketiganya tidak mau mengalah, semua pengen yang nomor satu. Emak nelen ludah. Hak veto keluar.
- Mengajak diskusi, memutar otak mencari kalimat yang sekiranya akan bisa diterima oleh otaknya dan kemudian menuruti kemauan emaknya. Buat ngomong aja emak kudu extra keras berpikir ya. Dududu.
- Membujuknya untuk mengalah, yang biasanya menjadi diskusi alot antara saya dan dia. Kalo kata orang sunda mah pakeukeuh.
- Menyerah dengan keinginannya, dan mau enggak mau saya membujuk kakak atau adiknya untuk mengalah.
Sering saya berpikir apakah emak-emak lainnya yang memilki anak lebih dari dua juga mengalami hal yang sama dengan yang saya alami? Atau masalah ini timbul karena dis-manage saya sebagai seorang ibu? Still thinking for another solution that could solve the problem.
Mataram, 9 Oktober 2018
saya anak tengah. dan kyknya pas punya adik baru bawaannya excited. yg cemburuan itu kakak saya. menurutku, aku bisa lbh kalem krn merasa sdh diistimewakan. mungkin itu yg terasa kurang didpt oleh kakak sulungku.
jadi kyknya sih, resepnya dgn menemukan keistimewaan tiap anak dan sampaikan itu padanya dgn bangga ber-ulang2. krn dilemanya anak tengah memang biasanya dia yg paling dianggap biasa. si sulung istimewa krn paling besar dan si bungsu otomatis istimewa krn paling kecil.
tetep semangat ya!
Naaah bener awalnya emang excited banget. Tapi ketika si adek mulai agak gedean dimulai deh “drama”..makasih ya masukannya…kayaknya saya masih kurang kali ya memuji anak kedua saya. Yup semangat…long way to go..
Makasih udah mampir. Salam kenal
Semangaaat mbaa.. aku yg baru dua aja sering ngalami kecemburuan begini, apalagi yg tiga kaya mba yaa 🙂
Semoga kita selalu diberkahi kemudahan mendidik anak2 kita yaa 🙂
Anak saya juga tiga, kebetulan si tengah saya juga rada2 cemburuan. Bukan cuma sama adik kakaknya, tapi sama emaknya juga. Xixiii.. Karena sudah kls 2 SD saya ajak bicara saat momennya pas. Biasanya mau berubah tapi gak lama. Ntar kumat lagi. Namanya juga anak2. Jadi emak emang senjata utamanya kudu sabar. Andai ada orang jual sabar ya.. Hee
Selat berjuang ??
Sama Mba, anak saya juga tiga. Kebetulan si tengah juga yang rada cemburuan. SABAR itu memang senjata utama jadi emak deh kayaknya. Heee..
Semangat Mak!