Rinduku akan lembah Harau (Yang Dulu)

Rinduku akan lembah Harau (Yang Dulu)

Lembah Harau. Tempat inilah yang belum sempat saya abadikan di blog tentang perjalanan darat terpanjang dan terlama yang pernah saya tempuh hingga saat ini. Satu bulan penuh menyusuri jalanan, pindah dari satu kota ke kota lainnya. Entah kenapa mood itu menguap begitu saja. Sedih! Padahal Lembah Harau ini adalah salah satu lokasi wisata yang saya dan suami datangi ketika mengajak anak-anak kami akhir tahun 2017 silam. Kami ingin anak-anak melihat sendiri dengan kedua bola mata mereka betapa indahnya kampung halaman kakek dan nenek mereka. 

Ya, kedua orang tua saya lahir dan besar di tanah minang. Namun kemudian merantau ke tanah Jawa, di mana saya lahir dan dibesarkan. Dulu sewaktu saya masih kecil setidaknya satu tahun sekali kami sekeluarga menyambangi Sianok,  Bukittinggi dan juga Padang. 

Cerita berbeda tertorehkan ketika saya memasuki usia dewasa dan menikah. Sedikit sedih, namun apa mau dikata begitulah keadaannya. Kini ranah minang ini lebih banyak dekat di hati daripada dekat di mata. Kala itu saya terakhir kali menjejakkan kaki di Bukittingi yaitu di tahun 2007. Itu pun dengan suasana berduka oleh karena nenek saya kembali kepada Sang Pencipta. 

Menikah di tahun 2010, akhirnya niat saya dan suami untuk mengajak anak-anak melihat kampung halaman kakek dan nenek mereka alhamdulillah kesampaian juga di akhir tahun 2017. Akhirnya setelah satu dasawarsa saya pulang kampung juga. Tidak sendiri. Kini dengan suami dan ketiga anak saya. 

Penantian tujuh tahun kami mulai dengan sedikit nekat. Bismillah dana cukup, bismillah selamat pulang pergi. Akhir Oktober 2017 kami memutuskan untuk menempuh jalur darat dari kota Mataram, NTB menuju kota Bukittinggi di Sumatra Barat. Can you imagine how far it is? Silahkan buka peta sendiri saja ya. 

Kembali ke lembah Harau. Hujan gerimis mengiringi langkah kami sekeluarga dari Bukittinggi menuju Tanah Datar, Lima Puluh Kota. Alhamdulillah saat itu belum hujan ketika kami tiba di sana walau mendung sedikit mewarnai langit di atas Lembah Harau. 

Memasuki kawasan Lembah Harau, jalan beraspal seolah dipagari hijaunya sawah. Dan di satu titik anak-anak begitu senang melihat air terjun di kejauhan. Tentu saja berhenti sejenak oleh karena emaknya (baca: saya) yang tidak mau kehilangan momen untuk memoto air terjun tersebut. Tak peduli jauh juga. Air terjun itu terlihat cantik berpadu dengan hijaunya alam dan juga bebatuan cadas yang berdiri kokoh. 

Puas mengabadikan salah satu keindahan di Lembah Harau, perjalanan dilanjutkan menyusuri jalanan yang berliku. Anak-anak begitu takjub melihat batu besar bagaikan dinding yang berdiri kokoh. 

“Itu namanya batu apa, Pak?” tanya salah satu anak saya kepada bapaknya yang mengemudi. 

Pak suami pun menjelaskan dengan cukup rinci. Emak ikut mendengarkan, hitung-hitung menambah pengetahuan. Maklum masalah perbatuan, pak suami lebih ahli daripada saya.

Ah, melihat batuan tinggi besar ini membuat Ingatan saya melayang kepada film Flinstone yang sering saya tonton sewaktu kecil.  Hayoooo siapa yang waktu kecil suka menonton film kartun Flinstone? #satuzamankita hahaha.

Tak berapa lama kemudian, pak suami berhenti di tepi jalan tidak jauh dari sebuah air terjun. Huuu airnya deras, jernih dan satu lagi, yaitu dingin. Seperti biasa ketiga bocah saya tidak tahan untuk hanya memandang saja. Berlari ke tepi air terjun, berakhir hanya dengan mencelupkan tangan mereka ke air. Airnya dingin, dan sepertinya juga dalam. Tidak ada satu orang pun yang terlihat berenang  saat itu.

Puas berhenti di tepi air terjun, saya dan keluarga beralih ke air terjun berikutnya. Namun sebelumnya kami berhenti sebentar di titik yang terkenal dengan sebutan lembah echo. Di sini suara teriakan kamu akan dibalas dengan sebuah gema berulang-ulang. Tempat ini juga dikenal dengan sebutan Lembah Gema. Menarik bukan sajian alam di Lembah Harau ini? Tidak di semua tempat bisa seperti ini lho. Bagi kamu yang sedang gundah gulana, resah tak berujung, sepertinya cocok datang ke sini untuk mengeluarkan semua isi di hati. Hehehe.

Dari Lembah Echo, perjalanan di lanjutkan menuju kampung Sarosah, di mana di sana  juga terdapat air terjun. Namun sayang, rintik hujan yang semakin deras menghentikan langkah kami untuk turun dari mobil dan menyusuri jalan setapak menuju air terjun tersebut. Berpuas diri hanya melihat sedikit warna putih di kejauhan dan juga bunyi gemercik air jatuh. 

Perjalanan berakhir dengan parkir di depan mesjid yang tersedia di kawasan lembah harau ini. Di sebuah tanah luas terbuka yang lagi-lagi dikelilingi oleh bebatuan tinggi nan kokoh itu. Tentunya berpadu dengan hijaunya pepohonan. Cantik! I loved this place.

Namun di tahun 2019, saya begitu tersentak membaca sebuah postingan tulisan di blog teman sesama blogger, Uni Evi, dengan judul Lembah Harau Payakumbuh Rasa Eropa. Jemari saya dengan ligat mengetik kata kunci di browser karena ingin membuktikan deretan kata yang tertulis di sana. Katanya, kini ada rasa eropa di Lembah Harau. Benarkah semua itu?  How come? 

Ya! Benar adanya. Kini di kampung Sarosah, Lembah Harau (melihat foto yang menjamur di dunia maya, saya berasumsi bahwa lokasi tersebut di sekitaran mesjid di Lembah Harau)  kini bertebaran miniatur-miniatur yang menurut saya tidak pada tempatnya. Sebutlah kincir angin, rumah warna warni khas negeri bunga Tulip ,Menara Eiffel, dan lain-lain. Oh tidak, menurut saya Lembah Harau tidak perlu semua itu jika hanya ingin meningkatkan jumlah pengunjung. Kenapa oh kenapa harus mengikuti arus wisata kekinian yang begitu haus akan suasana eropa? Hohoho kini suasana eropa begitu menjamur di Indonesia ini. Saya jadi berpikir di manakah letak spesial suasana eropa ini hingga begitu digandrungi  wisatawan saat ini? Menurut saya, tanpa embel-embel suasa eropa ini, Lembah Harau lebih cantik. Yoooo, siapa yang setuju dengan saya???

Bermimpi dari sekarang, berharap suatu saat kembali ke Lembah Harau dengan alam alaminya, tanpa ada embel-embel negeri orang itu. Ku sedih!

Bantul, DIY, 3 Maret 2020

SuKa dengan artikel ini? Yuk, bagikan!

Viedyana

Emak dari tiga bocah kecil, domisili di Bantul, Yogyakarta. Suka jalan-jalan, icip-icip makanan, dan menulis. Ada yang ingin ditanyakan atau bekerjasama untuk review usaha, produk dan lain-lain silahkan kontak viedyana1983@gmail.com

2 thoughts on “Rinduku akan lembah Harau (Yang Dulu)

  1. Vie, soal Lembah Harau ini mungkin seperti peribahasa nenek kita, jaman berubah musim berganti. Mungkin bagi pengelola keindahan alam di sana kurang cukup, kurang menarik perhatian, makanya jadi deh rasa-rasa eropa itu..:)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *